Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) barang dan jasa demi meningkatkan pendapatan negara. Kebijakan ini adalah salah satu bagian dari reformasi perpajakan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan bahwa kenaikan PPN sampai saat ini masih dalam kajian. Nantinya, akan didiskusikan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemangku kepentingan (stakeholders).
“Lebih lengkapnya, pengaturan skema PPN multitarif sehingga memungkinkan pengenaan tarif yang berbeda untuk barang kebutuhan pokok dan barang mewah,” katanya saat dikonfirmasi Bisnis.com, Kamis (6/5/2021).
Saat ditanya apakah besaran PPN barang dan jasa akan berbeda dengan skema tersebut, Yustinus menjelaskan bahwa dirinya belum dapat mengungkapkan informasi tersebut sampai sejauh itu.
“Agaknya butuh diskusi lebih lanjut. Tapi kemungkinan ini kan rumah buat kebijakan ke depan, disiapkan dulu payung [hukum]-nya,” jelasnya.
Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8.1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.
Baca Juga
UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN 10 persen. Dampaknya tentu akan ada pada kenaikan harga barang dan jasa.
Sementara itu, payung hukum kenaikan PPN akan masuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Saat ini, beleid tersebut masuk dalam program legislasi nasional 2021. Dengan begitu, pemerintah bakal sudah memiliki landasan ketentuannya tahun ini.