Bisnis.com, JAKARTA — Komite Antidumping Indonesia (Kadi) menyebut telah mengusulkan pengenaan Bea Masuk Antidumping (BMAD) untuk bahan baku Baja Lapis Aluminium Seng (BJLAS) asal Vietnam dan China sejak Februari 2021 lalu.
Usulan itu pun saat ini sudah diteruskan pada pemerintah dan tengah dibahas dalam Pertimbangan Kepentingan Nasional (PKN).
Ketua Kadi Bachrul Chairi mengakui pembahasan pengenaan BMAD untuk BJLAS cukup alot antar Kementerian. Pada prinsipnya kajian Kadi adalah sesuai dengan World Trade Organization atau WTO guna menegakkan perdagangan yang berkeadilan.
"Jadi memang ada beberapa pandangan yang melihat kepentingan dari industri hulu hingga hilir tetapi di sini yang bisa kita lihat pemerintah memang harus melihat secara keseluruhan dalam kaitannya menerapkan fair trade di Indonesia," katanya kepada Bisnis, Rabu (5/5/2021).
Bachrul menyebut saat ini Vietnam dan China melakukan dumping sekitar 25–30 persen di bawah harga jual industri di dalam negeri. Namun, bagi Bachrul hal itu justru menimbulkan pertanyaan akan ketahanan industri dalam negeri sendiri.
Secara kapasitas, sesuai kajian Kadi bahwa pada 2018 Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan BJLAS pasar domestik. Namun, ketika komitmen pemerintah menerapkan fair trade maka sudah ada tambahan kapasitas dari dua perusahaan baru saat ini.
Dengan demikian, kapasitas produksi di Indonesia telah mencapai 1,3 juta ton dengan kebutuhan 1,2 juta ton.
Sementara itu, di China kapasitas BJLAS saat ini sudah mencapai 4,2 juta ton dengan kebutuhan dalam negerinya hanya 720.000 ton. Artinya, sisa dari 17 persen untuk memenuhi kebutuhannya digunakan untuk memasok ke seluruh dunia dan membuat industri dalam negeri mati.
"Jadi secara potret industri tahun ini bahkan kita sudah mampu ekspor sekitar 30.000 ton. Impor BJLAS ini memang jika dilihat masih memberikan penciptaan nilai tambah yang besar tetapi sisi lain ada industri yang juga menyerap banyak tenaga kerja," ujarnya.
Bachrul menambahkan adapun usulan Kadi untuk Vietnam akan dikenakan dumping paling tinggi yakni 49 persen dan China sedikit di atas 6 persen. Meski begitu, mayoritas masih di bawah 10 persen dari harga industri di dalam negeri.
Prinspinya menurut Bachrul pengenaan BMAD ini bukan untuk menghalangi impor melainkan disesuaikan dengan tingkat kecurangan perusahaan. Pasalnya, harga impor yang didapat bisa lebih murah karena adanya subsidi dari pemerintah mereka.