Bisnis.com, JAKARTA – Upaya pengembangan sektor ketenagakerjaan Indonesia yang diupayakan selama belasan tahun terakhir harus mundur jauh ke belakang. Salah satu indikasinya, laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja Indonesia tahun lalu memburuk sejak anjlok parah pada 2018.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 29 April 2021, tingkat pertumbuhan riil PDB per orang bekerja pada 2020 jatuh hingga menyentuh level -1,84 persen setelah berhasil membaik dari 0,79 persen menjadi 3 persen pada periode 2019-2020.
Selain itu, dalam waktu 6 bulan terakhir, terjadi peningkatan pengangguran sebesar 2,6 juta orang menjadi 9,77 juta atau sebanyak 7,07 persen. Bahkan, pandemi Covid-19 juga berdampak terhadap sebanyak 100 juta orang pekerja usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemenaker Bambang Satrio Lelono mengatakan kondisi tersebut sebenarnya cukup berat bagi Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekonomi dan mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan lain.
"Kondisi ini sulit, padahal melihat pembangunan tenaga kerja 5 tahun sebelum pandemi Covid-19, pemerintah bisa menekan angka pengangguran di bawah 5 persen, tepatnya 4,99 persen atau 6,88 juta orang. Namun, setahun belakangan upaya tersebut berantakan," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (3/2/2021).
Dampak pandemi Covid-19, lanjutnya, menahan tren positif bahwa Indonesia yang bisa menekan angka pengangguran secara signifikan serta angka kemiskinan di bawah 2 digit, yakni 9 persen.
Baca Juga
Selain itu kondisi di atas, Bambang mengatakan terdapat 2 tantangan utama lain bagi sektor ketenagakerjaan Indonesia; yakni, bonus demografi yang dinilai bagai pedang bermata dua bagi perekonomian nasional.
Mengenai bonus demografi, jelasnya, sejak 2012 jumlah penduduk produktif di Indonesia melampaui jumlah penduduk yang tidak produktif. Pada 2030, penduduk Indonesia dengan usia produktif diprediks mencapai 70 persen dari jumlah keseluruhan.
"Ini modal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan syarat penduduk usia produktif tersebut memiliki kompetensi dan produktivitas sehingga bisa berkontribusi dalam mendorong petumbuhan ekonomi," ujarnya.
Sebaliknya, kata Bambang, apabila Indonesia gagal memberikan keterampilan dan pengetahuan kepada penduduk usia produktif, maka bonus demografi tersebut justru akan menjadi bumerang bagi ekonomi Indonesia ke depan.
Kajian dari Mckinsey Global Institute mengatakan Indonesia berpeluang menjadi negara ekonomi terbesar ketujuh dunia pada 2030. Hal ini bisa terwujud jika pada 2030 Indonesia memiliki tenaga kerja terampil dan semiterampil sebanyak 113 juta orang.
Pada 2012, Indonesia tercatat memiliki 57 juta tenaga kerja terampil dan semiterampil, artinya setiap tahun Indonesia harus bisa menciptakan lebih dari 3 juta tenaga kerja terampil dan semiterampil.
Menurut Bambang, ada 3 hal yang harus diprioritaskan dalam mengatasi tantangan tersebut; yakni, pembangunan dalam kesehatan karena diperlukan generasi yang sehat; pendidikan dan pelatihan berbasis teknologi; dan menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang fleksibel serta kondusif.
Tantangan kedua bagi sektor ketenagakerjaan Tanah Air adalah Revolusi Industri 4.0, yang membawa paradigma baru dalam pergaulan masyarakat. Termasuk dalam hal berkomunikasi, berbagi informasi, bekerja sama, dan dalam mengakses teknologi, tidak terkecuali dalam dunia industri.
Pada saat proses produksi berubah, jelasnya, maka proses bisnis juga akan ikut berubah. Hal ini dinilai secara langsung berimplikasi terhadap sektor ketenagakerjaan sehingga jenis-jenis keterampilan yang dibutuhkan akan ikut berubah.
Bambang pun menilai hal tersebut harus diantisipasi melalui tranformasi pasar kerja dengan mengandalkan teknologi digital serta mempertimbangkan perubahan iklim bisnis dan industri, posisi pekerjaan, dan kebutuhan keterampilan.