Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan harga bahan baku untuk industri makanan dan minuman dinilai tidak terlalu memengaruhi efisiensi rantai nilai sektor tersebut.
Pembenahan logistik tetap menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar yang harus dibenahi Indonesia dalam memperdalam kerja sama dengan Australia di sektor makanan dan minuman.
Ekonom dari Australian National University sekaligus Anggota Dewan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arianto Patunru menyebutkan konsensus yang disepakati negara-negara dunia di tengah disrupsi perdagangan selama pandemi adalah bagaimana hambatan dalam perdagangan tidak mengemuka.
Berkaitan dengan hal tersebut, kolaborasi kedua negara perlu lebih diarahkan ke jaminan bahwa logistik tidak terganggu karena bisa memengaruhi biaya.
“Fluktuasi harga bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi efisiensi. Namun juga kondisi infrastruktur yang kurang memadai dan logistik sistem yang kurang,” kata Arianto, Rabu (14/4/2021)
Mengutip studi pada 2012, Arianto menyebutkan biaya logistik Indonesia setidaknya mencapai US$0,35 (35 sen) per kilometer. Biaya tersebut lebih besar dibandingkan dengan rata-rata biaya logistik di Asean yang hanya sebesar US$0,2 per kilometer.
Baca Juga
Arianto berpendapat investasi pada aspek ini bakal lebih mengoptimalisasi efisiensi rantai nilai antara Indonesia dan Australia.
“Logistik laut bahkan lebih mahal karena Indonesia merupakan negara kepulauan, biayanya bisa mencapai US$0,5 per kilometer,” kata dia.
Senada, Direktur Perundingan Bilateral Kemendag Ni Made Ayu Marthini mengatakan kerja sama dalam perbaikan logistik tidak hanya harus dijalin Indonesia dan Australia, tetapi juga oleh berbagai negara di level regional dan global.
Karena itu, negara-negara dunia dia sebut telah membuat komitmen untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang dapat menjadi disrupsi bagi perdagangan.
“Jika memang kita tidak bisa memengaruhi pergerakan harga, setidaknya kita bisa menciptakan kebijakan yang mengakomodasi kemudahan bisnis dan memfasilitasi perdagangan. Ini hal terbaik yang bisa dilakukan suatu negara, selain menahan diri untuk tak menerbitkan kebijakan yang menghambat,” kata dia.