Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Property Watch (IPW) memprediksi pasar perumahan sepanjang tahun ini tumbuh minimal 15 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan saat ini pasar properti dalam tren kenaikan meski belum stabil. Menurutnya, kondisi properti mulai terasa titik balik paling cepat pada semester II tahun ini, didorong sejumlah insentif.
Stimulus dari pemerintah adalah pemangkasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyusul Bank Indonesia mengeluarkan regulasi yang memungkinkan perbankan dengan non-performing loan (NPL) di bawah 5 persen untuk memberi kredit pemilihan rumah (KPR) dengan uang muka (down payment/DP) 0 persen.
Selain itu, kondisi pasar properti yang mulai membaik juga disebabkan oleh indikator makroeoonomi yang menunjukkan tren cukup baik dan vaksinasi Covid-19 yang relatif berjalan cukup baik.
Sektor komoditas yang mengalami kenaikan juga turut serta berdampak pada sektor properti. Pasalnya, ketika harga komoditas tinggi, para pemilik perusahaan komoditas banyak melakukan investasi properti.
"Dengan stimulus dan berbagai macam kondisi itu, kami perkirakan sementara pasar perumahan 2021 tumbuh minimal 15 persen dibandingkan dengan 2020," kata Ali dalam webinar Meneropong Pasar Properti 2021 pada Kamis (8/4/2021).
Menurutnya, jika pemerintah memberi stimulus lain ke sektor properti tahun ini, akan melonjakkan pertumbuhan sektor properti. "Kalau ada stimulus lainnya yang diberikan pemeritah selain yang sudah ada, saya yakin sektor properti naiknya luar biasa, akan melonjak bila stimulus properti total football."
Ali mengungkapkan berdasarkan hasil survei sementara perumahan di Jabodetabek-Banten, terjadi peningkatan penjualan pada kuartal I/2021 sebesar 6,47 persen setelah muncul stimulus.
Peningkatan ini tidak luput dari peningkatan penjualan rumah siap huni yang melonjak 370,8 persen, sedangkan penjualan rumah inden turun 10,40 persen. Dia menjelaskan komposisi penjualan rumah ready stock mencapai 13,1 persen, melompat dari biasanya hanya 1 persen hingga 2 persen.
Berdasarkan survei IPW per 31 Maret 2021 kepada 60 proyek pengembang, dampak dari kebijakan DP 0 persen terhadap pengembang 54,2 persen menjawab tidak berpengaruh, 35,6 persen menjawab berpengaruh, dan 10,2 persen menjawab sangat berpengaruh.
Selama ini, bahkan sebagian pengembang sudah melakukan strategi harga tanpa DP tanpa harus menunggu kebijakan DP 0 persen dari pemerintah.
"Untuk DP 0 persen mengapa pengembang bilang tidak terlalu pengaruh, karena memang DP 0 persen sudah dilakukan oleh pengembang. DP 0 persen ini bukan untuk masyarakat menengah ke atas karena mereka tidak masalah dengan DP, tetapi untuk masyarakat menengah bawah yang memerlukan uang untuk membayar DP," kata Ali.
Dia menilai dalam kondisi normal, kebijakan DP 0 persen ini akan sangat berdampak pada sektor properti. Hal ini dikarenakan masyarakat menengah bawah saat ini daya belinya tengah tertekan dan tidak memprioritaskan untuk membeli properti.
"Praktik DP 0 persen terkendala mitigasi risiko dari perbankan sehingga solusinya perlu ada pelonggaran persyaratan dari perbankan," tuturnya.
Para pengembang pun menyambut baik adanya penurunan suku bunga. Pasalnya turunnya suku bunga ini bagi 72,5 persen pengembang terbilang sangat berpengaruh, 16,9 persen pengembang menyebutkan berpengaruh, dan 10,2 persen pengembang mengatakan tidak berpengaruh.
Hal itu dikarenakan penurunan BI 7-Days Repo Raye belum sepenuhnya membuat suku bunga perbankan turun. Meskipun terjadi tren penurunan, namun dirasakan konsumen masih belum cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama perbankan menurunkan suku bunganya.
Suku bunga turun sangat pengaruh bagi pengembang karena pasti minat pembelian meningkat. Suku bunga Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) 5 persen untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sudah berlaku sehingga diharapkan dapat dimungkinkan suku bunga di kelas menengah berada di kisaran 6 persen hingga 7 persen melalui subsidi maupun insentif lainnya.
Terkait dengan insentif PPN, lanjut Ali, 49,1 persen pengembang menyatakan tidak berpengaruh, 24,6 persen pengembang menyatakan berpengaruh dan sisanya, 26,3 persen pengembang menyatakan sangat berpengaruh.
Hal ini juga terkait batasan rumah siap huni yang membuat para pengembang yang tidak mempunyai ready stock relatif tidak dapat menikmati aturan ini.
Namun, sebaliknya untuk para pengembang yang mempunyai rumah ready stock ini waktunya untuk ‘cuci gudang’ unit-unit rumahnya dan terbukti beberapa pengembang tancap gas untuk dapat menghabiskan rumah-rumah siap huninya.
"Untuk PPN 0 persen, mengapa banyak tidak pengaruh karena para pengembang tidak banyak dan bahkan ada yang tidak memiliki rumah yang ready stock. Jadi, PPN 0 persen ini hanya akan pengaruh ke pengembang yang punya rumah siap huni," lanjutnya.
Menurut Ali, hanya pengembang besar yang masih memiliki rumah siap huni, sedangkan pengembang menengah sangat terbatas sekali yang menyediakan rumah siap huni karena terkendala permodalan.
Para pengembang merasa periode kebijakan insentif PPN yang hanya sampai Agustus 2021 ini terlalu singat karena proses pembelian properti yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Relaksasi semestinya diperpanjang hingga setahun dan dimungkinkan membeli rumah inden dengan adanya batasan minimum progres pembangunan.
Baca Juga : BCA Hati-hati Kucurkan KPR dengan DP 0 Persen |
---|
Namun, para pengembang sangat menyambut baik atas sejumlah relaksasi yang dilakukan pemerintah di sektor properti. Sebanyak 59,7 persen pengembang menyatakan relaksasi di sektor properti yang telah dilakukan pemerintah sangat berpengaruh, sebesar 19,7 persen menyatakan berpengaruh, dan 21,3 persen menyatakan tidak berpengaruh.
Berdasarkan survei yang dilakukan IPW per 31 Maret kepada 132 responden, pemahaman masyarakat mengenai kebijakan DP 0 persen pun masih rendah dengan 31,6 persen persen masyarakat sudah mengetahuinya, sedangkan 68,4 persen belum mengetahui ada relaksasi DP 0 persen.
Lalu terkait dengan aturan insentif PPN Properti, hanya 35,5 persen masyarakat yang mengetahui kebijakan tersebut, sedangkan sisanya 64,5 persen tidak mengetahui.
"Kondisi ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi semua pemangku kepentingan properti untuk dapat menyampaikan informasi sesegera mungkin kepada masyarakat," ucapnya.
Ali menambahkan terkait suku bunga rendah, sebesar 53,0 persen masyarakat masih merasa bunga KPR yang ada di pasar tidak berubah. Lalu sebesar 24,2 persen menganggap masih tinggi, sedangkan sebesar 22,7 persen merasa suku bunga KPR sudah lebih rendah.
Sepanjang 2020, pola tren pasar perumahan di Jabodetabek-Banten belum stabil. Pada kuartal I 2020 terjadi penurunan penjualan rumah sebesar 50,0 persen atau hanya 1.229 unit rumah yang terjual, lalu pada kuartal II 2020 penjualan rumah naik 88,7 persen atau 2.319 unit rumah yang terjual.
Baca Juga : Begini Cara Efektif Pemasaran Digital Properti |
---|
Pada kuartal III 2020, pasar perumahan kembali tertekan turun 31,2 persen atau hanya terjual 1.595 unit rumah akibat adanya pembatasan kegiatan berskala besar dan pada kuartal IV 2020 pasar rumah kembali naik 8,2 persen atau 1.726 unit rumah yang terjual.
"Perkembangan penjualan rumah sangat bergantung dengan kondisi pengetatan pelonggaran PSBB ini karena karakteristik properti tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme digital online. Masih terjadinya penjualan memperlihatkan daya beli masih ada di pasar. Beberapa pengembang lebih aktif memasarkan produknya saat pandemi untuk jaga optimesme pasar," lanjut Ali.