Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) meningkatkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk kedua kalinya dalam tiga bulan, sambil memperingatkan tentang melebarnya jurang ketimpangan antara negara maju dan negara kurang berkembang.
Dalam World Economic Outlook yang diterbitkan kemarin, IMF menyebut ekonomi global akan tumbuh 6 persen tahun ini, naik dari 5,5 persen yang diperkirakan pada Januari.
Perolehan itu diperkirakan akan menjadi yang terbesar dalam empat dekade, setelah kontraksi 3,3 persen tahun lalu yang merupakan penurunan masa damai terburuk sejak Depresi Besar.
IMF melihat negara-negara maju kurang terpengaruh oleh virus tahun ini dan seterusnya, sementara negara-negara berpenghasilan rendah dan pasar berkembang akan lebih menderita. Hal itu kontras dengan 2009, ketika negara-negara kaya terpukul lebih keras.
IMF juga menggarisbawahi bahwa pembuat kebijakan harus mengurangi dukungan pemerintah secara bertahap, untuk menghindari jurang fiskal. Para bankir sentral juga harus memberikan pedoman yang jelas tentang kebijakan moneter untuk meminimalkan bahaya aliran modal yang disruptif.
IMF mengulangi seruannya kepada negara-negara kaya untuk membantu yang lebih miskin memerangi Covid-19, dan menggarisbawahi perlunya memprioritaskan pengeluaran perawatan kesehatan secara lebih luas untuk mengalahkan pandemi.
Baca Juga
Paket stimulus Presiden Joe Biden senilai US$ 1,9 triliun yang disahkan bulan lalu akan membantu meningkatkan PDB AS ke atas tingkat prapandemi pada tahun ini dan akan memberikan dampak positif yang cukup besar bagi mitra dagang.
Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath mengatakan ini akan membuat AS tahun depan menjadi satu-satunya ekonomi besar yang melampaui tingkat output yang seharusnya jika tidak ada pandemi.
Sementara itu untuk 2022, dana tersebut melihat pertumbuhan global pada 4,4 persen, lebih tinggi dari 4,2 persen yang diproyeksikan sebelumnya.
Namun, banyak negara maju tidak akan kembali ke tingkat output sebelum pandemi hingga 2022, dan pasar berkembang dan negara berkembang mungkin membutuhkan waktu hingga 2023 untuk memulihkan level tersebut.
Ekonomi dunia pada 2024 akan menjadi sekitar 3 persen lebih kecil dari yang diantisipasi sebelum wabah Covid-19.
“Prospek ini menghadirkan tantangan yang menakutkan terkait dengan perbedaan dalam kecepatan pemulihan baik antar negara maupun di dalam negara dan potensi kerusakan ekonomi yang terus-menerus dari krisis,” kata Gopinath dalam laporannya.
Sebagian besar fokus dari pertemuan IMF dan bank Dunia minggu ini akan berada pada penerbitan aset cadangan senilai US$ 650 miliar yang diusulkan IMF dan dikenal sebagai hak penarikan khusus
Dana cadangan itu bertujuan untuk meningkatkan likuiditas global dan membantu negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah menangani peningkatan utang dan biaya perawatan kesehatan.
Tanggapan terhadap krisis tahun lalu oleh para pembuat kebijakan mencegah keruntuhan yang setidaknya tiga kali lebih buruk, dan kerugian jangka menengah bagi ekonomi global diperkirakan lebih kecil daripada krisis keuangan global satu dekade lalu.
Jalur pemulihan yang berbeda kemungkinan akan memperlebar kesenjangan global dalam standar hidup.
Dana tersebut memperkirakan kerugian pendapatan per kapita selama periode 2020-2022 di pasar negara berkembang tidak termasuk China, setara dengan 20 persen dari angka PDB per kapita untuk 2019. Itu jauh lebih buruk daripada 11 persen yang dilihat IMF di negara-negara maju.
Sementara itu, data inflasi secara global dapat berubah menjadi tidak stabil dalam beberapa bulan mendatang, mengingat harga komoditas terendah setahun yang lalu, tetapi tren tersebut akan terbukti berumur pendek.
Prospek yang diredam mencerminkan pasar tenaga kerja yang lemah, pengangguran yang tinggi dan daya tawar pekerja yang kecil.
Volume perdagangan global diperkirakan akan meningkat 8,4 persen tahun ini karena rebound dalam pembelian barang, naik dari kenaikan 8,1 persen yang terlihat di Januari.
Secara terpisah, dalam Laporan Stabilitas Keuangan Globalnya, IMF memperingatkan bahwa ekonomi global masih dapat menghadapi beberapa hambatan karena banjir dukungan pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
"Pengambilan risiko yang berlebihan di pasar berkontribusi pada penilaian yang berlebihan, dan meningkatnya kerentanan keuangan dapat menjadi masalah warisan struktural jika tidak ditangani," kata laporan itu.