Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri jamu menilai obat herbal yang telah terbukti aman dan berkhasiat untuk manusia atau fitofarmaka sulit berkembang karena membutuhkan dana uji klinis yang mahal.
Setidaknya hanya untuk menuntaskan uji klinis, obat fotofarmakan membutuhkan ongkos sekitar Rp4 miliar. Padahal potensi pengembangan obat ini cukup prospektif.
"Jadi, cost produksi ini lebih mahal dibanding obat lain dan tak jarang membuat harganya lebih mahal walau ada juga yang murah," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Dwi Ranny Pertiwi dalam sebuah webinar, Selasa (23/3/2021).
Ranny mengira dengan mempertimbangkan ongkos tersebut tentunya membuat pemerintah kembali berhitung karena nantinya harus melakukan pengembalian harga.
Meski demikian, Ranny menyebut GP Jamu juga terus mendesak pemerintah meloloskan produk fitofarmaka dalam fornas. Hal itu mengingat jika ada efek samping yang ditimbulkan maka sangat kecil ketimbang efek samping obat kimia.
"Kami sangat getol dalam hal ini," ujarnya.
Fornas atau formularium nasional adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Daftar ini disusun berdasarkan pada bukti ilmiah mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN.
Sebelumnya, BPOM mencatat Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tumbuhan maupun sumber daya laut dan sekitar 9.600 spesies tanaman dan hewan telah teridentifikasi memiliki khasiat obat.
Baca Juga : Daftar Obat Herbal Terstandar Bakal Bertambah |
---|
Namun, hingga saat ini baru ada 62 OHT (obat herbal terstandar) dan 24 fitofarmaka yang terdaftar di BPOM.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini menilai untuk mendorong industri obat herbal yang paling logis adalah pemerintah membeli produk tersebut melalui asuransi BPJS Kesehatan, seperti yang dilakukan India, China, Jepang, dan Taiwan.
"Jadi semoga kedepan obat herbal dapat dimasukkan ke dalam program JKN [Jaminan Kesehatan Nasional]," ujarnya.