Bisnis.com, JAKARTA - Kehadiran Lembaga Pengelola Investasi (LPI) patut diapresiasi, karena membawa harapan baru sebagai sumber alternatif pembiayaan untuk lebih memacu pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia.
Selain itu menjadi salah satu terobosan penting bagi pembiayaan pembangunan infrastruktur di luar APBN. Hal ini mengingat kebutuhan pembiayaan infrastruktur sangat besar, sekitar Rp6.445 triliun pada 2020—2024.
Dari proyeksi total kebutuhan tersebut, anggaran pemerintah diperkirakan hanya bisa memenuhi 37%. Sisanya diharapkan dari sektor swasta (42%) dan BUMN/BUMD (21%). Kemampuan anggaran pemerintah ini bahkan bisa lebih rendah seiring besarnya kebutuhan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Dari total pembiayaan di luar APBN, LPI tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut. Wajar saja bila institusi ini hanya fokus pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur strategis nasional.
Lantas, bagaimana pembiayaan nonbujeter bagi proyek infrastruktur yang nonstrategis? Bagaimana pula pembiayaan infrastruktur di daerah yang dilakukan BUMD? Pada umumnya, mereka mencari pendanaan lewat pasar seperti perbankan dan pasar modal.
Hanya saja, perbankan lokal masih terbatas untuk bisa mencukupi pembiayaan infrastruktur yang berjangka panjang, karena pembiayaan perbankan berpotensi mengalami mismatch mengingat sumber dana bank umumnya berjangka pendek.
Belakangan ini semakin banyak perusahaan mencari pendanaan lewat pasar modal seperti penerbitan obligasi. Bahkan, emisi obligasi tetap semarak di tengah kondisi pandemi Covid-19. Selain obligasi, menarik juga diamati bahwa saat ini semakin banyak korporasi mencari pendanaan alternatif.
Misalnya Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT), Dana Investasai Infrastruktur (Dinfra), Konrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) dan Dana Investasi Real Estat (DIRE). Hal ini tecermin dana kelolaan RDPT tumbuh signifikan sekitar 87% menjadi Rp28,3 triliun per Januari 2021 dibandingkan dengan posisi akhir 2015 sebesar Rp15 triliun.
Adapun dana kelolaan DIRE, DINFRA dan KIK-EBA kini mencapai hampir Rp25 triliun. Bahkan, penulis meyakini pasar pendanaan alternatif ini bakal semakin marak, karena kebutuhan pembangunan infrastruktur masih sangat tinggi.
Kebutuhan pembiayaan yang baru juga bisa didukung lewat sekuritisasi pendapatan dari infrastruktur yang sudah beroperasi. Di sisi lain, minat investor institusi yang masih didominasi lokal semakin tinggi. Ke depan juga semakin terbuka peluang manajer investasi menarik dana-dana luar negeri. Demikian pula manajer investasi asing untuk mengembangkan dana kelolaannya di pasar domestik.
McKinsey & Company (2013) melaporkan tren peningkatan manajemen investasi global yang mengalokasikan dana kelolaannya di emerging markets. Mereka juga semakin meminati produk investasi alternatif dan pendapatan tetap khusus termasuk infrastruktur.
Hal ini dibuktikan tingginya respons investor global terhadap obligasi yang diterbitkan korporasi nasional, di mana tecermin emisi global bond dan Komodo bonds dari sejumlah BUMN selalu mengalami kelebihan permintaan.
Melihat hal itu, bisa dikatakan potensi pembiayaan infrastruktur bagi korporasi lewat pasar modal, termasuk produk investasi alternatif, masih besar dan sangat prospektif. Produk pembiayaan infrastruktur yang dikemas dengan baik (bankable) diyakini bakal diminati investor.
Sejumlah studi menunjukkan masalah pembiayaan infrastruktur di Asia, khususnya di Indonesia, pada dasarnya bukan minimnya sumber dana tetapi justru terbatasnya proyek-proyek yang layak dan bankable (Nadia Soraya, 2017).
Menurut penulis, melalui kerja sama perusahaan efek berbagai kondisi di atas justru menjadi peluang bagi BUMD. Produk investasi alternatif pasar modal dinilai tepat sebagai sumber pembiayaan sektor riil dan bisa disesuaikan dengan karakteristik infrastruktur di daerah.
Hal ini mengingat BUMD lebih memahami proyek-proyek di daerah dan mendapat dukungan kuat dari pemerintah daerah. Apalagi, proyek yang dibangun BUMD biasanya memiliki kebutuhan pembiayaan yang tidak terlalu besar, sehingga, produk investasi berbasis proyek infrastruktur di daerah bisa diserap oleh kalangan investor institusi.
Tantangannya justru ada dalam tubuh BUMD sendiri. Banyak BUMD yang masih minim tingkat pengenalan dan kesiapan pembiayaan lewat pasar modal. Terutama, bagaimana pengelolaan tingkat risikonya yang bisa diterima oleh investor dan sebanding dengan tingkat pengembaliannya. Sebenarnya tingkat pengenalan BUMD terhadap akses pasar modal mulai membaik.
Makin banyak BUMD melakukan emisi obligasi. Bahkan, beberapa di antaranya sudah go public. Namun secara keseluruhan BUMD itu berasal dari sektor keuangan. Dalam catatan penulis, masih nihil BUMD sektor riil yang melakukan akses pendanaan infrastruktur daerah lewat pasar modal.
Karena itu, ke depannya perlu terus dilakukan komunikasi dan literasi yang lebih intensif. Selain bisa mengembangkan inovasi pembiayaan daerah, pendanaan pasar modal diharapkan bisa menciptakan kemandirian dan pemerataan pembangunan infrastruktur di daerah.