Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pangkas Kesenjangan, Monopoli Vaksin Harus Dihapuskan!

Hampir satu juta orang di seluruh dunia telah menandatangani seruan sekelompok organisasi kampanye beranggotakan Oxfam, Frontline AIDS, UNAIDS, Global Justice Now dan Yunus Center agar negara-negara kaya berhenti melindungi monopoli farmasi besar.
Seorang petugas medis memegang vaksin Covid-19 buatan Pfizer-BioNTech di Rumah Sakit Careggi, Florence, italia, Minggu (27/12/2020). Sejumlah negara di Eropa memulai vaksinasi Covid-19 kepada warganya./Antararn rn
Seorang petugas medis memegang vaksin Covid-19 buatan Pfizer-BioNTech di Rumah Sakit Careggi, Florence, italia, Minggu (27/12/2020). Sejumlah negara di Eropa memulai vaksinasi Covid-19 kepada warganya./Antararn rn

Bisnis.com, JAKARTA - Lebih dari 100 negara berkembang, yang dipimpin oleh Afrika Selatan dan India, kembali mengajukan kasus di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk pengabaian Aspek Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (TRIPS).

Upaya itu akan menghilangkan hambatan hukum bagi lebih banyak negara dan produsen untuk memproduksi vaksin sehingga dapat menghapus ketimpangan akses terutama di negara-negara miskin dan berkembang di dunia.

Ketimpangan akses vaksin selama ini dinilai akibat praktik monopoli kekayaan intelektual oleh perusahaan farmasi besar. Namun demikian, banyak dari negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa memblokir proposal tersebut.

Fasilitas Covax yang disediakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama denga Gavi kemungkinan hanya akan memenuhi 3 persen kebutuhan vaksin di negara-negara miskin pada pertengahan tahun ini dan maksimal seperlima pada akhir 2021.

Sementara itu, hampir satu juta orang di seluruh dunia telah menandatangani seruan sekelompok organisasi kampanye beranggotakan Oxfam, Frontline AIDS, UNAIDS, Global Justice Now dan Yunus Center agar negara-negara kaya berhenti melindungi monopoli farmasi besar.

Jajak pendapat publik baru-baru ini oleh YouGov untuk Aliansi di AS, Prancis, Jerman, dan Inggris, menemukan bahwa 69 persen orang berpikir bahwa pemerintah harus memastikan ilmu vaksin dan pengetahuan dibagikan dengan produsen yang memenuhi syarat di seluruh dunia, daripada tetap eksklusif menjadi milik segelintir raksasa farmasi. Pengembang vaksin juga harus diberi kompensasi yang memadai untuk upaya ini.

"Dengan mengizinkan sekelompok kecil perusahaan farmasi untuk memutuskan siapa yang hidup dan siapa yang meninggal, negara-negara kaya memperpanjang keadaan darurat kesehatan global yang belum pernah terjadi sebelumnya ini dan mempertaruhkan nyawa yang tak terhitung jumlahnya," kata Direktur Eksekutif Oxfam International, Gabriela Bucher, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/3/2021).

Aliansi ini memperingatkan bahwa sejarah pada awal 2000-an bisa terulang di mana jutaan orang meninggal karena monopoli farmasi melabeli pengobatan untuk HIV/AIDS dengan harga yang tidak terjangkau hingga US$10.000 setahun.

Saat itu, monopoli farmasi akhirnya dibatalkan sehingga memungkinkan produksi massal pengobatan yang efektif dan murah bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS.

Peraih Nobel Perdamaian Muhammad Yunus menekankan urgensi untuk mengesampingkan apa yang disebut dengan nasionalisme vaksin oleh negara-negara kaya.

"Kita harus bertindak sekarang. Sangat tidak adil bahwa negara-negara kaya, yang memiliki cukup vaksin untuk melindungi warganya, memblokir pengabaian TRIPS, yang dapat membantu negara-negara miskin mendapatkan vaksin yang mereka butuhkan," katanya.

Dia melanjutkan, semua pengembang vaksin terkemuka telah memperoleh keuntungan miliaran dolar dari subsidi publik, tetapi perusahaan farmasi telah diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan mendapatkan keuntungan dari mereka.

Pada saat yang sama, para produsen yang memenuhi syarat di seluruh dunia bersiap untuk memproduksi lebih banyak vaksin jika mereka diizinkan mengakses teknologi dan pengetahuan yang sekarang ditahan secara rahasia oleh perusahaan-perusahaan ini. Kapasitas baru dapat mulai beroperasi dalam beberapa bulan.

Suhaib Siddiqi, Mantan Direktur Kimia di Moderna, produsen salah satu vaksin pertama yang disetujui, mengatakan bahwa dengan cetak biru dan saran teknis, pabrik modern seharusnya dapat memproduksi vaksin paling lama tiga sampai empat bulan.

Prancis telah menyerukan perluasan produksi di negara-negara berkembang, dan AS telah bergerak untuk mencapai hal yang sama di dalam negeri. Namun sejauh ini kedua negara terus mempertahankan monopoli perusahaan farmasi.

Untuk mengendalikan virus, dosis vaksin yang cukup perlu diproduksi di berbagai wilayah geografis, dengan harga terjangkau, dialokasikan secara global dan digunakan secara luas secara gratis di komunitas lokal.

Nick Dearden, Direktur Global Justice Now sangat menyayangkan bahwa produsen vaksin yang sebenarnya memiliki kapasitas produksi tidak melakukan tugasnya karena negara-negara kaya memprioritaskan paten perusahaan farmasi di atas nyawa orang di seluruh dunia.

"Penangguhan paten global diperlukan untuk mempercepat produksi vaksin ini di mana-mana," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper