Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu masalah yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia adalah terbatasnya kapasitas fiskal dalam bentuk pendapatan negara yang cukup untuk membiayai belanja negara.
Penerimaan perpajakan sebagai sumber utama pendapatan negara, pemungutannya dapat dilakukan secara optimal apabila sistem perpajakannya didesain dengan baik dan efisien.
Lebih dari satu dekade terakhir, Indonesia telah melakukan reformasi sistem perpajakan. Reformasi kebijakan dilakukan melalui penurunan tarif PPh Badan dari 30% ke 28% dan 25% dengan UU Nomor 36/2008 serta terakhir menjadi 22% dan 20% dengan UU Nomor 2/2020.
Perubahan fundamental lain adalah penyesuaian besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP), kebijakan tax holiday dan tax allowance, PPh final UMKM, penyesuaian batasan omzet pengusaha kena pajak (PKP), dan tax amnesty.
Terlepas dari reformasi kebijakan yang telah dilakukan, penerimaan pajak menunjukkan angka yang kurang menggembirakan. Meskipun secara nominal mengalami peningkatan tiap tahunnya, pertumbuhannya mengalami perlambatan. Pertumbuhan pajak meningkat saat harga komoditas tinggi atau ketika dikeluarkan kebijakan tertentu dengan rata-rata pertumbuhan 9,9% dalam 10 tahun terakhir.
Dengan koleksi pajak yang belum optimal tersebut, tax ratio Indonesia relatif rendah yakni sebesar 10,24% pada 2018 dan turun menjadi 9,76% pada 2019. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan Thailand (17,5%) dan Filipina (18,2%), apalagi disejajarkan dengan negara-negara OECD yang rerata tax ratio-nya sebesar 34,3%.
Banyak ulasan telah disampaikan mengenai penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia, termasuk reformasi kebijakan perpajakan lanjutan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja pemungutan perpajakan. Salah satu solusi yang penulis tekankan adalah terkait dengan kebijakan cukai.
Sesuai UU Nomor 39/2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai karakteristik: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Saat ini cukai dikenakan terhadap etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Meskipun hanya 3 objek cukai, pendapatannya berkontribusi cukup besar terhadap perpajakan.
Realisasi penerimaannya terus meningkat setiap tahunnya dari Rp66,2 triliun pada 2010 melonjak menjadi Rp172,4 triliun pada 2019. Dalam 10 tahun terakhir, cukai menyumbang rata-rata 10,5% terhadap penerimaan perpajakan atau 1,14% terhadap PDB.
Dengan hanya 3 objek, Indonesia termasuk negara yang sangat sedikit objek cukainya. Di Asean, selain tembakau dan minuman beralkohol, komoditas yang jamak dipungut cukai adalah BBM, otomotif, dan minuman berpemanis.
Bahkan di Thailand, konsumsi atas jasa seperti klub malam juga dipungut cukai. Dengan objek meliputi barang dan jasa, penerimaan cukai 2019 berkontribusi 23% terhadap penerimaan perpajakan atau 3,81% terhadap PDB.
Demikian pula pengenaan cukai di beberapa negara yang tergabung dalam OECD, misalnya Jepang, Turki, dan Inggris. Jepang, dengan PDB terbesar ketiga dunia (2019), total penerimaan cukai dari komoditas seperti minuman beralkohol, BBM, hasil tembakau, dan kendaraan bermotor berkontribusi 7,5% terhadap penerimaan perpajakan atau 1,51% terhadap PDB. Angka tax ratio-nya juga relatif tinggi sebesar 31,4%.
Adapun Turki dan Inggris menunjukkan persentase penerimaan cukai terhadap PDB yang lebih besar, masing-masing sebesar 2,71% dan 3,2% dengan tax ratio 23,1% dan 33%.
Dengan pendapatan cukai yang besar tentunya memberikan kapasitas fiskal yang baik bagi pemerintah untuk pembangunan nasional. Yang menarik dari ketiga negara tersebut adalah penerimaan cukainya didominasi oleh komoditas BBM (Jepang 53,4%, Turki 41,5%, dan Inggris 56,8%).
Indonesia, dengan tax ratio yang rendah, perlu berusaha keras meningkatkan kinerja penerimaan perpajakannya. Beberapa tahun mendatang, rasio perpajakan diperkirakan masih akan rendah mengingat pertumbuhan ekonomi dan basis perpajakan belum kembali normal akibat dampak Covid-19. Tanpa kebijakan yang signifikan, tax ratio Indonesia akan semakin tertinggal di Asean.
Di antara reformasi kebijakan perpajakan yang perlu dilakukan khususnya bidang cukai adalah penyesuaian tarif dan peningkatan basis cukai melalui kebijakan ekstensifikasi.
Penyusunan roadmap industri hasil tembakau dengan mempertimbangkan berbagai aspek (kesehatan, tenaga kerja, industri, dan penerimaan) dan penyederhanaan struktur tarif secara bertahap menjadi penting dilakukan untuk memberikan kepastian bagi stakeholders.
Peningkatan basis pajak melalui ekstensifikasi terhadap komoditas yang umum dilakukan negara lain seperti BBM, kendaraan bermotor, dan minuman berpemanis juga mesti dilakukan. Jika ketiga barang tersebut dipungut cukai, diproyeksikan kontribusi pendapatannya terhadap perpajakan akan meningkat menjadi 15% atau 1,52% terhadap PDB.
Dalam jangka menengah-panjang, pengenaan cukai atas konsumsi jasa perlu menjadi agenda dalam rencana perubahan regulasi tentang cukai.