Bisnis.com, JAKARTA - Banyaknya varian bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri menjadi salah satu penyebab sulitnya masyarakat untuk bearalih menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan bahwa persoalan penggunaan BBM yang tidak berkualitas adalah masalah dari masih terlalu banyaknya produk BBM di pasar dengan angka research octane number (RON)atau cetane number (CN) sangat rendah atau belum sesuai dengan standar EURO.
“Tetangga kita Myanmar, hanya ada tiga produk BBM dengan RON terendah 91, Vietnam hanya dua produk BBM dengan RON terendah 92. Sedangkan di Indonesia, kita ada enam (6) produk dengan RON terendah 88 yakni Premium. Selain terlalu banyak, standar RON juga tidak sesuai standar EURO 4 minimal RON 91, kita masih sangat jauh tertinggal,” ujarnya seperti dikutip dalam keterangan resminya, Senin (8/3/2021).
Dia menambahkan, varian produk yang banyak juga memunculkan variasi harga yang signifikan, sehingga tanpa edukasi yang tepat dan berkelanjutan, masyarakat akan lebih memilih produk dengan harga yang paling murah.
Mengacu pada standar EURO 4 yang berlaku, BBM ramah lingkungan adalah BBM yang memiliki kandungan sulfur maksimal sebesar 50 parts per million (ppm) dalam emisi gas buangnya.
“Masyarakat saat ini hanya melihat harga saat ini, harga yang saya keluarkan untuk beli BBM. Padahal masyarakat perlu melihat menggunakan BBM yang sesuai spesifikasi mesin, dapat mengefektifkan kerja mesin sehingga menjadi lebih hemat," ujar Fabby.
Baca Juga
"Belum lagi, mesin akan terawat dan terhindar dari kerusakan yang akhirnya menjadi biaya atau harga yang mungkin lebih mahal di kemudian hari,” tambahnya.
Direktur Pengendalian dan Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, Dasrul Chaniago mengatakan, kualitas BBM ini sangat berpengaruh terhadap kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia.
“Sekitar 70 persen-75 persen sumber pencemaran udara di kota besar, kita ambil Jakarta, bersumber dari sektor transportasi, yakni dari emisi gas buang yang dihasilkan. Coba kita mundur kembali pada awal pandemi Covid-19, terlihat kualitas udara Jakarta membaik, langitnya biru, itu disebabkan oleh berkurangnya mobilitas masyarakat yang menggunakan kendaraan,” kata Dasrul.
Sama seperti RON, kandungan sulfur BBM yang ada di Indonesia saat ini masih belum memenuhi standar EURO 4, hanya Pertamax Turbo (RON 98) yang setara standar tersebut.
Produk seperti Premium dengan kualitas terendah lanjut Dasrul, mungkin hanya memenuhi standar EURO 2 dengan kandungan sulfur berada di 500 ppm.
Dasrul mendukung sinergi antara pemerintah, instansi, dan Pertamina sebagai BUMN untuk mendorong penggunaan BBM berkualitas yang ramah lingkungan.
Menurutnya, edukasi harus dilakukan berkelanjutan sekaligus memastikan ketersediaan produk dan kekuatan ekonomi masyarakat agar produk BBM berkualitas yang ramah lingkungan dapat diakses seluruh lapisan masyarakat.
“Lagi-lagi, kita tertinggal dari negara tetangga. Filipina, Vietnam, dan Thailand sudah menggunakan produk setara EURO 4, bahkan Thailand pada 2023 akan mulai mengarah ke EURO 5. Di Asia Tenggara, Singapura sudah paling maju sejak tahun 2017 sudah sesuai dengan standar EURO 6, sama seperti negara-negara maju di Eropa. Indonesia, sejak 2000 masih berkutat rata-rata di EURO 2,” ungkapnya.