Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah merilis PP Nomor 41/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Aturan ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Regulasi tersebut dianggap akan merugikan industri baja. Pasalnya, dalam ketentuan itu Kawasan Ekonomi Khusus dan RPP FTZ/FPZ tidak akan diberlakukan pengenaan bea masuk, termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan dan/atau bea masuk pembalasan di KEK dan FTZ/FPZ.
Direktur Technology dan Business Development PT Krakatau Posco Gersang Tarigan mengatakan dengan regulasi tersebut maka akan berpotensi memicu tindakan curang dari produsen besi dan baja luar negeri. Terlebih lagi, Batam saat ini memiliki pangsa pasar yang besar untuk besi dan baja.
"Di tengah permintaan baja nasional yang turun dari rerata 1,5 juta ton menjadi 1 juta ton tahun lalu, permintaan pelat baja di Batam tercatat masih tumbuh dan mencapai 400.000 ton per tahun, tetapi 304.000 ton atau 76 persen beras dari impor," katanya dalam diskusi virtual, Minggu (28/2/2021).
Baca Juga : Indeks Manufaktur Turun, Kembali Melandai? |
---|
Gersang mengemukakan lebih memprihatinkan lagi, 68 persen dari baja impor yang masuk di Batam berasal dari tiga negara yakni Ukraina, Singapura, dan China. Padahal, lanjut dia, tiga negara tersebut sudah terbukti melakukan dumping yang akan membuat produk dalam negeri tidak bisa bersaing.
Sementara itu kapasitas produksi besi dan baja nasional tercatat 2,75 juta ton dengan tingkat utilisasi hanya di level 65-70 persen. Dengan kondisi tersebut, industri baja sulit menggarap pasar domestik maupun ekspor.
Gersang menilai Batam juga menjadi perhatian utama karena Kawasan Bebas Batam memiliki zona pengembangan industri galangan kapal yang merupakan pasar besar bagi produk baja hot rolled plate atau HRP. Menurutnya ada sekitar 47 perusahaan galangan kapal di Kawasan Bebas Batam, dari total nasional sebanyak 278 perusahaan.
"Dulu kami sudah minta untuk pengenaan bea masuk anti dumping terhadap impor pelat baja tetapi ada PP Nomor 10/2012 yang membentur. Waktu itu itikad baik pemerintah sudah ada untuk memperbaiki tetapi sekarang malah ada PP Nomor 41 yang isinya sama saja," ujar Gersang.
Adapun PP Nomor 10/2021 memuat tentang Perlakuan Kepabeanan Perpajakan Dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas.