Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan keringanan utang kepada debitur yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada negara. Namun, ada debitur tertentu yang tidak mendapatkan keringanan, salah satunya Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya.
Pemberian keringanan tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15/2021 tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2021.
Adapun, Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya milik keluarga Bakrie tidak masuk ke dalam program tersebut.
“Itu [Lapindo] piutang negara juga. Tapi belum kita serahkan ke PUPN [panitia urusan piutang negara]. Itu kita tangani sendiri,” kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatawarta, Jumat (26/2/2021).
Latar belakang keringanan berdasarkan PMK 15/2021 adalah untuk peningkatan kualitas tata kelola piutang negara. Selain itu juga memitigasi dampak Covid-19, mendukung pemulihan ekonomi, dan menjalankan amanat Undang-Undang APBN 2021.
Ada lima prinsip dasar dalam PMK 15/2021. Pertama, hanya diberikan pada objek crash program. Lalu jelas komposisi pokok bunga, denda, atau ongkos (BDO). Ketiga, pembedaan tarif antara yang disertai barang jaminan berupa tanah-bangunan, dengan yang tidak.
Keempat, dalam hal valas atau valuta asing, menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal surat persetujuan. Terakhir, bagi penanggung utang yang telah menyelesaikan pokok utang sampai dengan 31 Desember 2020, dapat diberikan keringanan seluruh BDO.
Lukman menuturkan bahwa jenis crash program menjadi dua, yaitu moratorium dan keringanan. Untuk moratorium tindakan hukum atas piutang negara hanya diberikan kepada debitur yang memiliki kondisi khusus, yaitu terbukti terdampak pandemi dan pengurusan piutang negaranya baru diserahkan setelah ditetapkan status bencana nasional pandemi Covid-19.
Moratorium yang diberlakukan adalah penundaan penyitaan barang jaminan/harta kekayaan lain, penundaan pelaksanaan lelang, dan/atau penundaan paksa badan hingga status bencana nasional Covid-19 dinyatakan berakhir oleh pemerintah.
Sementara keringanan utang ditujukan kepada para pelaku UMKM dengan pagu kredit paling banyak Rp5 miliar. Lalu debitur kredit pemilikan rumah sederhana/rumah sangat sederhana (KPR RS/RSS) paling banyak Rp100 juta.
Terakhir, perorangan atau badan hukum/badan usaha yang pengurusannya telah diserahkan kepada panitia urusan piutang negara (PUPN) dan telah diterbitkan surat penerimaan pengurusan piutang negara (SP3N) sampai akhir tahun lalu dengan sisa kewajiban sebesar Rp 1 miliar.
Melalui program keringanan utang dengan mekanisme crash program, para debitur dengan kriteria tersebut mendapatkan pengurangan pembayaran pelunasan utang.
Stimulus tersebut meliputi keringanan utang pokok sebesar 35 persen untuk yang didukung barang jaminan berupa tanah bangunan dan 60 persen jika tidak didukung barang jaminan berupa tanah bangunan. Kemudian pengurangan seluruh sisa utang BDO. Terakhir tambahan keringanan utang pokok sebesar 50 persen apabila lunas sampai dengan Juni 2021, 30 persen pada Juli sampai September, dan 20 persen pada Oktober sampai akhir tahun.
Dengan fokus kepada debitur kecil, program keringanan utang tidak berlaku untuk piutang negara yang berasal dari tuntutan ganti rugi/tuntutan perbendaharaan, piutang negara yang berasal dari ikatan dinas, piutang negara yang berasal aset kredit eks bank dalam likuidasi, serta piutang negara yang terdapat jaminan penyelesaian utang berupa asuransi, surety bond, bank garansi dan/atau bentuk jaminan penyelesaian setara lainnya.
Bisnis mencatat perusahaan konglomerasi Bakrie pada Maret 2007 memperoleh pinjaman Rp781,68 miliar, akan tetapi uang yang ditarik dari pemerintah sebesar Rp773,38 miliar.
Perjanjian pinjaman ini memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8 persen. Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1000 per hari dari nilai pinjaman. Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda atau Lunas pada 2019 lalu.
Namun, sejak uang negara dicairkan melalui perjanjian PRJ-16/MK.01/2015 mengenai Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Tedampak 22 Maret 2007, Lapindo hanya mencicil 1 kali.
BPK merinci tagihan kepada Lapindo terdiri dari pokok Rp773,38 miliar, bunga Rp163,95 miliar dan denda Rp981,42 miliar. BPK pun mencatat pemerintah telah mengupayakan penagihan kepada Lapindo dengan penagihan pada Juli 2019 dan September 2019. Pada 19 Desember 2019, Lapindo meminta kepada Jaksa Agung untuk melakukan pembayaran dengan asset settlement.
Sebelumnya, Isa mengatakan sudah ada kemajuan internal dalam upaya menagih utang tersebut. Pihaknya juga telah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung dan BPK.
“Kalau ada kesimpulannya kita ambil action. Intinya kita mau berprogres dengan mencoba berbagai cara agar kewajiban Lapindo bisa dipenuhi,” katanya, Jumat (4/12/2020).
Isa mengatakan, pemerintah masih mengupayakan proses penyelesaian secara tunai, namun tidak menutup kemungkinan juga untuk membuka opsi lain, misalnya dengan penyerahan aset Lapindo.
“Misal, mereka mau menyerahkan aset, kita jajaki. Yang jelas pertama [penyerahan aset di] wilayah terdampak, kita valuasi, kalau nilainya cukup tidak masalah. Kalau tidak mencukupi kita coba hal lain. Pembayaran tunai tetap jadi opsi yang utama,” jelasnya.