Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mengaku sejumlah produsen masih menghitung biaya investasi guna mengakomodasi rencana pemerintah untuk menurunkan standar International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) gula mentah dari 1.200 saat ini menjadi 200.
Persoalan standar ICUMSA terjadi ketika 2019 silam demi mengakomodasi impor gula mentah dari India. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kala itu mengatakan salah satu alasan diambilnya kebijakan itu lantaran permintaan dari India terkait dengan sulitnya produsen gula mentah di negara tersebut memenuhi ketentuan standar ICUMSA yang berlaku di Indonesia saat ini. Untuk itu, pemerintah akan menurunkan standar ICUMSA yang diimpor dari 1.200 menjadi 200.
Direktur Eksekutif AGI Budi Hidayat mengatakan saat ini produsen masih melakukan pembahasan dengan Badan Pengkajian & Pengembangan Kementerian Perdagangan (Kememndag). Menurutnya, Badan Pengkajian Kemendag masih perlu beberapa kali pertemuan lagi untuk mengambil keputusan terkait penurunan SNI ICUMSA 200.
"Beberapa produsen gula juga masih menghitung jumlah investasi yang harus dikeluarkan untuk memprodukdi GKP dengan SNI ICUMSA 200 termasuk butuh waktu berapa lama untuk merubah proses tersebut dan nilai tambah apa yang akan diperoleh dengan SNI 200 ini," katanya kepada Bisnis, Rabu (24/2/2021).
Budi menyebut pastinya dengan biaya investasi baru yang dikeluarkan jika tidak didapatkan nilai tambah seperti harga jual yang naik tentu akan merugikan produsennya. Untuk itu, jika angka perhitungan investasi sudah selesai akan disampaikan pada Badan Pengkajian Kemendag.
Menurut Budi, prinsipnya hal ini harus disikapi dengan bijak antara manfaat yang diperoleh dengan pengorbanan yang dilakukan. Meski pada akhirnya, keputusan pengambilan kebijakan tetap menjadi kewenangan pemerintah.
Baca Juga
Sisi lain, Budi tengah menyambut baik rencana revisi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10/2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku Dalam Rangka Pembangunan Industri Gula.
Menurutnya, izin impor gula mentah bisa berdampak positif pada kinerja pabrik. Persaingan dalam memperebutkan bahan baku tebu di antara pabrik gula, terutama di Pulau Jawa, juga bisa diminimalisir.
“Kinerja pabrik akan jadi lebih baik, tidak terjadi idle capacity karena selama ini masalahnya luas tanam tebu tidak bertambah banyak, sementara jumlah pabrik bertambah,” ujarnya.
Dengan harga gula mentah impor yang lebih murah disebut Budi bisa memberi keuntungan lebih bagi pabrik yang selama ini berhadapan dengan tingginya biaya produksi akibat harga bahan baku tebu.
Hasil riset oleh Kemendag pun menunjukkan bahwa harga gula eceran di Indonesia selama 2019—2020 memiliki paritas sampai 28,1 persen dibandingkan dengan harga di luar negeri secara umum.
"Namun, yang perlu diperhatikan ketika impor gula mentah ini dibuka adalah stabilitas harga di pasar. Jika berlebihan akan anjlok dan berpengaruh ke harga tebu di petani,” lanjutnya.
Harga tebu di tingkat petani yang ikut terdampak, menurut Budi, terjadi lantaran pabrik gula nantinya tidak akan terlibat dalam persaingan seketat dahulu ketika mencari bahan baku.
“Selama ini mereka tahu betul bahan baku terbatas, jadi berebut. Kalau dapat gula mentah paling tidak mereka berhitung kembali kebutuhan tebu petaninya.”
Oleh karena itu, Budi menilai pemerintah harus menghitung dengan tepat kebutuhan impor gula mentah demi memastikan harga tebu di petani tetap terjaga.
Selain itu, kewajiban pemenuhan bahan baku secara mandiri bagi pabrik gula baru sebagaimana tertuang dalam Permenperin Nomor 10/2017 perlu selalu dievaluasi. Dalam beleid tersebut, pabrik gula baru di Pulau Jawa harus bisa memenuhi kebutuhan bahan baku tebu dari kebun sendiri atau hasil kemitraan dengan petani selama lima tahun.
“Selama ini saya mempertanyakan bagaimana evaluasinya, sudah berapa pemenuhan tebu secara mandiri oleh pabrik-pabrik baru ini setelah beberapa tahun terakhir mendapat insentif impor bahan baku,” tutur Budi.
Sementara mengutip data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sampai 2019 terdapat tujuh pabrik gula baru yang beroperasi untuk tahun pertama dengan besaran insentif gula mentah impor sebesar 90 persen dari total kapasitas. Selain itu, terdapat dua pabrik gula yang beroperasi untuk tahun kedua dengan insentif impor 85 persen dari total kapasitas, dan empat pabrik gula yang melakukan revitalisasi atau perluasan kapasitas