Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian tahun ini memiliki rencana membereskan persoalan produktivitas gula. Tujuannya, tentu memaksimalkan produksi pabrikan gula guna memenuhi kebutuhan industri dan konsumsi di masyarakat.
Pembenahan dimulai dengan merilis Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan dengan aturan itu ada demarkasi yang bertujuan untuk memberi garis antara gula rafinasi untuk industri dan gula tebu untuk konsumsi.
Agus menyebut pabrik gula rafinasi dibentuk sebelum 2010 untuk mempermudah industri makanan dan minuman mendapatkan bahan baku. Kala itu, Agus mengatakan kebun-kebun belum memadai sementara kebutuhan indutsri mamin terus bertumbuh, akhirnya dibentuklah pabrik gula rafinasi yang berjumlah 11 perusahaan.
Dari 11 pabrik tersebut saat ini memiliki kapasitas 5 juta ton sayangnya sampai hari ini utilisasi baru 65 persen atau terpakai produksi sekitar 3 juta ton.
"Jika tidak melakukan demarkasi ini pabrik gula rafinasi tidak akan pernah optimal, begitu pula sebaliknya," katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Baca Juga
Agus pun mengatakan pada suatu masa pabrik gula rafinasi mengalami kapasitas penuh tentu akan kembali diperlukan rumusan kebijakan baru. Mungkin, dengan pembukaan investasi baru mengingat rerata kebutuhan industri mamin memang tumbuh 5 persen bahkan sebelum pandemi pernah mencapai 8,9 persen hingga dua digit.
Langkah lain yang sedang ditempuh saat ini adalah revisi Permenperin Nomor 10/2017 tentang fasilitas memperoleh bahan baku dalam rangka pembangunan industri gula.
Agus menyebut revisi regulasi tersebut dalam rangka percepatan dan pemberian insentif agar ada investasi baru untuk pabrik gula yang terintegrasi dengan tebu. Dalam hal ini, pemerintah menyadari menjaga produksi kebun agar kapasitas mesin tetap penuh memang tidak mudah.
Untuk itu, revisi regulasi pun akan menyasar pada pabrik eksisting yang saat ini sudah beroperasi dengan lahan tebunya.
"Jadi misalnya ada bencana alam atau hama sehingga kebun tidak bisa menghasilkan bahan baku sesuai dengan kapasitas pabrik maka kami akan mengizinkan impor dengan hasil verifikasi yang ketat di lapangan," ujar Agus.
Kemenperin, lanjut Agus, berharap dengan adanya regulasi tersebut tidak ada lagi mesin yang mengganggur. Pasalnya, hal itu yang mengganggu harga ditingkat konsumen menjadi mahal.
Agus mengatakan dirinya juga telah mempelajari persoalan di negara-negara tradisional penghasil tebu seperti Brazil, India, dan Thailand di mana saat ini mengalami kesulitan produksi dengan hasil di bawah rata-rata. Bahkan, kondisi tersebut diproyeksi akan berlanjut hingga tahun depan karena berkaitan dengan cuaca dan pandemi Covid-19.
"Begitu yang sangat saya khawatirkan sekali jika mesin-mesin tidak dapat produksi, meski sebenarnya bisa saja impor gula oleh Bulog jika kejadian gagal panen juga menimpa kita. Namun, bukan itu yang kami mau karena nila tambah dalam setiap produksi yang masih menjadi tujuannya," kata Agus.
Agus pun berkali-kali menjamin, bahwa proses pemberian rekomendasi impor nantinya tidak akan mudah karena harus benar-benar sesuai dengan hasil verifikasi lapangan yang ketat.
Adapun kondisi gula terbaru, sesuai hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat menteri yang dilaksanakan pada 14 Desember tahun lalu disepakati alokasi kebutuhan GKR untuk industri mamin dan farmasi di dalam negeri pada 2021 sebesar 3,1 juta ton GKR.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan angka itu setara dengan 3,3 juta ton raw sugar. Menurutnya pada akhir Desember 2020 telah diterbitkan persetujuan impornya sebesar 1,9 juta ton untuk kebutuhan semester I/2021.
“Sementara berdasarkan hasil Rakortas pada 26 Januari 2021 telah disepakati bahwa kebutuhan GKR untuk kebutuhan industri maminfar pada semester II sebesar 1,3 juta ton akan segera diterbitkan dalam waktu dekat ini,” katanya.
Rochim mengatakan pengaturan produksi pada pabrik gula basis tebu diperlukan mengingat kebutuhan gula konsumsi yang semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk.
"Kebutuhan gula konsumsi saat ini sebesar 2,8 juta ton, sementara produksi dalam negeri baru mencapai 2,1 juta ton,” katanya.
Kemenperin mencatat, produksi gula dalam negeri pada tahun 2015-2020 menurun dari 2,5 juta ton menjadi 2,1 juta ton, padahal pada rentang tahun yang sama telah berdiri sebanyak kurang lebih tujuh pabrik gula berbasis tebu, antara lain PT Kebun Tebu Mas, PT Sukses Mantap Sejahtera, PT Adikarya Gemilang, PT Industri Gula Glenmore, PT Pratama Nusantara Sakti, PT Rejoso Manis Indo dan PT Prima Alam Gemilang, dengan kapasitas terpasang yang rata-rata cukup besar antara 8.000 – 12.000 TCD.
Sehingga pada saat ini terdapat 62 pabrik gula di dalam negeri (43 PG BUMN dan 19 PG swasta) dengan kapasitas terpasang nasional mencapai 316.950 TCD.
Apabila seluruh pabrik gula dapat berproduksi optimal dan efisien, dapat dihasilkan produksi gula kurang lebih 3,5 juta ton per-tahun. Hal ini berarti swasembada gula konsumsi sudah tercapai.
Namun, sampai saat ini pengembangan industri gula nasional masih banyak kendala, antara lain sulitnya investor memperoleh lahan yang clean and clear di luar Jawa, sementara perkebunan tebu di Pulau Jawa juga semakin berkurang. Selain itu, sulitnya memperoleh saprodi tebu dan produktifitas tebu yang relatif rendah.
“Sehingga diharapkan pabrik-pabrik gula basis tebu ini fokus untuk meningkatkan produksi gula kristal putih, dengan mengembangkan perkebunan tebunya untuk memenuhi bahan baku bagi perusahaannya,” tutur Rochim.
Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kemitraan, pemberdayaan petani tebu, membantu aspek pembiayaan perkebunan tebu petani, penyediaan saprodi tebu, bimbingan usaha budidaya tebu dan sebagainya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tebu yang dihasilkan.