Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan perbankan disebut lebih berhati-hati atau selektif dalam menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) di masa pandemi Covid-19.
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan saat ini perbankan sangat selektif dalam memberikan persetujuan KPR. Pasalnya, jika sebelum pandemi terdapat 10 konsumen akhir atau end user yang mengajukan hanya 8 unit yang disetujui. Namun kini hanya sekitar maksimal 2 unit yang disetujui.
"Itu mestinya yang mengatur perbankan selain asosiasi dan Himbara, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentu berkecimpung secara regulasi supaya bank lebih berani meluncurkan kredit dalam kondisi pandemi ini," ujarnya.
Hal inilah yang mengganggu cashflow dari para pengembang karena sedikitnya rumah yang terjual.
Direktur PT Metropolitan land Tbk. Wahyu Sulistio berpendapat prinsip kehati-hatian yang dilakukan perbankan agar tidak ada gagal bayar. Pasalnya apabila terjadi gagal bayar maka akan juga berdampak ke developer.
"Jadi, kalau ada gagal bayar dampaknya ke developer. Ini usaha properti akan enggak jalan, rontok semua. Sangat berbahaya," tuturnya.
Baca Juga
Menurutnya, bagi developer sendiri sangat penting melakukan efisiensi dengan penuh kehati-hatian.
Direktur PT Ciputra Development Tbk Harun Hajadi menuturkan perbankan seleftif dalam memilih nasabah merupakan hal yang lumrah dan masih sangat wajar. Hal itu dalam rangka mengelola risiko.
"Semua ada hitung-hitungannya. Dengan tingkat likuiditas yang tinggi saat ini, dan juga dengan NPL (non-performing loan) yang relatif rendah dari KPR, maka menurut saya bank masih mengucurkan KPR," ujarnya.
Vice President Consumer Loans Bank Mandiri Ayu Pertiwi menuturkan posisi perbankan membantu masyarakat yang memerlukan properti tetapi membutuhkan pembiayaan. Perbakan sendiri juga membantu developer agar tidak ada gagal bayar.
"Kesannya dari dulu selektif, tidak ada perubahan. Sama saja kehati-hatian dilaksanakan menyalurkan kredit baik sebelum pandemi maupun saat pandemi," paparnya.
Kehati-hatian bank dilakukan agar pendapatan yang diperoleh masyarakat dapat disisihkan membayar kewajiban dan juga memenuhi kebutuhan harian atau biaya lainnya.
"Kadang kala kurang memperhatikan kebutuhan kemampuan dan keinginan. Kemampuan diri kita sanggup beli properti harga berapa. Kemampuan pendapatan dan properti income yang dibeli. Kalau tidak match ada beberapa pengajuan KPR yang belum bisa diakomodir," ucapnya.
Tentunya, perbankan terus bersinergi dengan developer untuk tumbuh bersama bukan membuat developer sehar menjadi sakit. Kolaborasi antara perbankan dan developer ini dibutuhkan, maka developer juga memberikan jaminan.
"Kalau terjadi gagal bayar, developer melakukan buyback kepada bank. Ujung-ujungnya ya developer yang menanggung risiko, belum lagi keluar biaya perawatan untuk rumah gagal bayar," tutur Ayu.