Bisnis.com, JAKARTA – Sektor properti seharusnya dapat menjadi salah satu fokus pemerintah dalam memberikan relaksasi atau stimulus di tengah kondisi pandemi Covid-19, menurut CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda.
Hal itu dilatarbelakangi fakta bahwa sedikitnya ada 175 industri yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan sektor properti.
“Jadi, properti berperan sebagai lokomotif ekonomi sehingga seharusnya juga menjadi sektor prioritas untuk dapat menggerakkan ekonomi nasional,” ungkap Ali pada Jumat (19/2/2021).
Dia mengingatkan bahwa perputaran uang di sektor properti tidak dapat dianggap enteng, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan sektor otomotif, apalagi bila dihitung sampai pada industri ikutannya.
Artinya, kata Ali, pemerintah harus matang mempertimbangkan kemungkinan stimulus yang benar-benar tepat sasaran dari sisi permintaan di sektor properti, karena sektor properti tidak sepenuhnya kehilangan daya beli di segmen tertentu.
Bahkan berdasarkan data, terjadi anomali di bisnis properti dengan tingkat penjualan rumah di segmen harga Rp1 miliar hingga Rp2 miliar pada 2020 meningkat dibandingkan dengan 2019.
Baca Juga
Berdasarkan riset IPW, lanjutnya, meski penjualan sepanjang tahun lalu menurun 31,8 persen yoy, kenaikan justru terlihat di segmen harga Rp1 miliar hingga Rp2 miliar yang tumbuh 12,5 persen di tengah kondisi segmen lainnya menurun.
Bos IPW itu mengungkapkan beberapa alasan lain mengapa sektor ini harus dipertimbangkan sebagai prioritas untuk menggerakkan roda ekonomi nasional.
Pertama, berdasarkan riset Realestat Indonesia (REI), penyerapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 19 jutaan orang. Belum lagi tenaga kerja dari industri yang terkait langsung maupun tidak langsung, dapat mencapai 11 jutaan orang. Artinya total pekerja yang melingkupi sektor ini bisa mencapai 30 juta orang.
Sektor ini memang sering terlihat tak banyak menyerap tenaga kerja. Namun, bila dicermati, sangat besar keterkaitan tenaga kerja di sektor ikutan lainnya yang ditopang sektor ini mulai dari industri bahan bangunan, semen, besi baja, kayu, cat, asesoris rumah, furnitur, juga perusahaan konsultan perencana arsitek, sipil, pemasaran, advertising, notaris, bank, sampai usaha UMKM dan warteg akan tumbuh saat ada proyek properti.
Kedua, saat ini penggunaan material di sektor perumahan mulai hampir 100 persen merupakan produk lokal, menyusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mewajibkan pengembang menggunakan produk lokal untuk setiap pengerjaan proyek properti.
Kebijakan ini untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dengan demikian, produktivitas industri lokal akan semakin meningkat.
Ketiga, sebagian besar pengembang properti merupakan pengembang lokal yang harus lebih dijamin keberlangsungannya. Saat ini banyak pengembang yang mulai menjerit kesulitan cashflow karena permintaan anjlok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor real estat pada kuartal IV 2020 masih tumbuh 1,98 persen, tetapi strategi bertahan yang dilakukan pengembang tidak dapat bertahan terlalu lama lagi. Hal itu disebabkan permintaan terus menurun dan seleksi pengajuan KPR dari perbankan terhadap calon pembeli.
“Kalau industri ini kolaps, dikhawatirkan akan berimbas sangat berat bagi industri ikutan terkait,” kata Ali mengingatkan.
Keempat, total nilai kapitalisasi penjualan properti primer rata-rata, diperkirakan berkisar antara Rp85 triliun hingga Rp100 triliun per tahun, dengan minimal 65 persennya didominasi perumahan, selebihnya terbagi untuk tanah, apartemen, komersial, dan perkantoran.
Kelima, penjualan properti sekunder memberikan kontribusi yang sangat besar dari keseluruhan properti dengan nilainya diperkirakan mencapai Rp115 triliun hingga Rp150 triliun yang dilakukan oleh agen broker master franchise, agen properti lokal, sampai broker tradisional. Nilai ini memberikan kontribusi minimal 61,5 persen dari total keseluruhan transaksi properti.
Menurut Ali, nilai ini sering tidak tercatat dan tidak diketahui pasti, tetapi sebagian besar pihak memastikan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan properti di pasar primer.
Dengan demikian, lanjutnya, total perputaran penjualan properti di Indonesia diperkirakan mencapai Rp200 triliun hingga Rp250 triliun per tahun.
Keenam, data penyaluran KPR memerlihatkan bahwa paling tidak terdapat 250.000–300.000 unit KPR per tahun untuk perumahan subsidi dan nonsubsidi. Pada 2019 diperkirakan penyaluran KPR paling tidak mencapai Rp115 triliun. “Tentunya nilai tersebut di luar pembelian dengan cara cash atau cash bertahap.”
Ketujuh, potensi permintaan rumah masih sangat tinggi terlihat juga dari nilai backlog perumahan yang masih tinggi.
Hal itu juga terlihat dari rasio penyaluran KPR di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan sejumlah negara lain di Asean. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara.
Berdasarkan data perbandingan 2014 sampai 2017, tingkat penyaluran KPR Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) paling rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang berkisar antara 2,94 persen dan 3,01 persen, apalagi dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang 45,5 persen dan 36,0 persen.
Ali menyebutkan bahwa tingginya suku bunga perbankan dan besarnya biaya transaksi menjadi salah satu hambatan dalam penyaluran KPR.
Kedelapan, properti merupakan kebutuhan primer papan sekaligus dapat menjadi investasi yang nilainya selalu tumbuh. Kepemilikan properti juga menjadi salah satu faktor tolok ukur tingkat kesejahteraan masyarakat. “Edukasi terhadap masyarakat untuk mulai memiliki properti harusnya menjadi prioritas pemerintah.”
Melihat potensi perputaran uang yang sangat tinggi di pasar properti diiringi dengan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar, kata Ali, sektor properti harusnya menjadi salah satu prioritas penting untuk ‘diselamatkan’.
“Sisi permintaan harus segera digerakkan, khususnya di golongan masyarakat menengah atas yang diperkirakan masih menyimpan potensi daya beli. Sebagian besar masyarakat ini masih menyimpan uangnya di perbankan dan menunda untuk membeli properti,” paparnya.
Dia mengimbau pemerintah untuk dapat mempertimbangkan masak-masak kemungkinan pemberian stimulus bagi sektor properti khususnya penurunan biaya-biaya transaksi termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang saat ini masih tinggi, mencapai total 22-23 persen.
“Pengurangan pajak yang ada harus bersifat signifikan, karena pengurangan yang terlalu kecil pun tidak akan menarik bagi pasar konsumen untuk bergerak membeli properti dalam kondisi sekarang,” kata Ali.