Bisnis.com, JAKARTA – Terpilihnya Ngozi Okonjo-Iweala asal Nigeria sebagai perempuan pertama yang menduduki posisi Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan (WTO) dipandang bisa kembali membawa fungsi organisasi itu dalam menjaga sistem perdagangan dunia yang teratur.
Hal ini dinilai bisa memberi keuntungan tersendiri bagi Indonesia yang tengah menghadapi sejumlah sengketa perdagangan.
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi berpendapat latar belakang Okonjo-Iweala yang berasal dari Nigeria bakal memberi sinyal netralitas organisasi tersebut dalam konteks geopolitik.
Sebagaimana diketahui, kepercayaan sejumlah negara terhadap sistem perdagangan multilateralisme mulai ditinggalkan dan puncaknya terjadi selama Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump.
“Dalam konteks geografis bisa lebih netral. Afrika seperti penengah bagi Amerika Serikat dan China yang terlibat dalam sengketa dagang. Terlebih kepercayaan terhadap WTO turun dan banyak negara lebih memilih pendekatan bilateral,” kata Fithra saat dihubungi, Selasa (16/2/2021).
Dia memaparkan faktor kepemimpinan Joe Biden juga akan memainkan peran penting dalam pemulihan mekanisme penyelesaian sengketa melalui WTO seiring dengan janjinya untuk mengembalikan Amerika Serikat ke pendekatan multilateralisme.
Baca Juga
Badan Banding (Appellate Body) organisasi ini memang kehilangan fungsinya sejak Desember 2019 ketika Amerika Serikat melayangkan veto dalam penunjukkan juri forum yang seharusnya berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan internasional.
“Sejak kampanye hal ini sudah disampaikan Biden. Meski tetap fokus ke pemulihan ekonomi domestik, namun dari sisi kebijakan internasional dia akan kembali ke multilateralisme dan dalam hal ini masalah di Badan Penyelesaian Sengketa mungkin bisa dibenahi,” lanjutnya.
Fithra pun berharap penunjukkan Okonjo-Iweala bisa membuahkan proses penyelesaian sengketa yang lebih adil dan tidak bias menguntungkan segelintir pihak. Di samping itu, Fithra pun berpandangan posisi Indonesia kini cenderung lebih kuat dalam menghadapi gugatan.
“Dalam riwayat sengketa dengan negara besar seperti Amerika Serikat dan Brasil Indonesia kerap kalah. Namun yang terakhir dengan Australia dalam gugatan dumping kertas A4 kita berhasil menang, jadi dari segi politik kita lebih punya daya tawar,” kata dia.
Fithra mencatat Indonesia kini lebih percaya diri dalam menghadapi sengketa dagang, hal ini setidaknya terlihat dari langkah RI menggugat kebijakan RED II Uni Eropa yang menyasar produk sawit Indonesia. Begitu pula dalam kasus gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel yang tertuang dalam kasus bernomor DS592.
“Kita lebih percaya diri dalam menghadapi sengketa karena banyak hal yang bisa disangkal. Misal tuduhan CPO tidak ramah lingkungan bisa ditepis dengan fakta bahwa minyak nabati lain lebih tidak ramah lingkungan. Dan untuk moratorium nikel kita bisa berangkat dari dasar kebijakan penghiliran untuk domestik, bukan diskriminasi,” kata Fithra.
Sementara itu, Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpandangan pemilihan Okonjo-Iweala tidak akan berpengaruh banyak bagi Indonesia. Tetapi, bisa memberi dorongan transparansi dalam penyelesaian sengketa untuk ke depan.
“Saya lihat WTO ke depan akan memiliki wajah baru. Mereka tetap akan mengikuti prosedur yang ada dalam menyelesaikan sengketa, tetapi tidak mengorbankan kesejahteraan negara-negara anggota dari hasil keputusan penyelesaian sengketa,” kata Andry.