Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan petani tebu mengusulkan agar pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10/2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula alih-alih merevisinya.
Regulasi itu dipandang tidak berdampak signifikan terhadap upaya peningkatan produksi gula di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal DPN Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin mengatakan bahwa luas pertanaman tebu cenderung tak bertambah sejak aturan tersebut terbit, padahal terdapat kewajiban bagi pabrik untuk memenuhi kapasitas produksi dengan bahan baku tebu, baik melalui perluasan area tanam maupun kolaborasi dengan petani.
Kewajiban ini datang seiring berkurangnya insentif impor bahan baku yang diberikan selama lima tahun untuk pabrik baru di Pulau Jawa dan tujuh tahun untuk pabrik gula baru di luar Pulau Jawa.
“Dengan privilese impor bahan baku ini mereka diharapkan berangsur-angsur menambah produksi gula berbasis tebu dan mengurangi impor. Namun, kenyataannya lahan tebu tidak bertambah,” kata Nur saat dihubungi, Minggu (14/2/2021).
Dia menjelaskan pabrik-pabrik baru justru membeli tebu dari lahan tebu yang telah ada sejak lama. Kondisi ini mengakibatkan persaingan memperoleh bahan baku makin ketat karena kenaikan jumlah pabrik tidak diiringi dengan bertambahnya area tanam.
Baca Juga
Perebutan bahan baku antar pabrik ini pun memicu lahirnya persaingan yang tak berimbang antara pabrik lama dan baru.
Nur mengatakan pabrik gula baru cenderung bisa membeli tebu petani dengan harga yang lebih mahal karena bisa memanfaatkan subsidi silang dengan impor gula mentah yang lebih murah. Di sisi lain, pabrik-pabrik lama yang tidak mendapat privilese importasi gula mentah justru dihadapkan dengan masalah idle capacity karena terbatasnya pasokan.
“Jadi kami sarankan Permenperin Nomor 10/2017 ini lebih baik dicabut saja karena tidak memberi kemajuan bagi industri gula maupun petani,” lanjutnya.
Nur tidak memungkiri jika produksi tebu di Tanah Air untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi masih terbatas. Oleh karena itu, dia menyarankan importasi gula mentah hanya dilakukan sesuai kebutuhan dan tidak merujuk pada insentif pabrik baru.
“Jadi perlu dihitung berapa selisih konsumsi dan produksi di dalam negeri, selisihnya akan menjadi kuota yang dibagikan untuk pabrik-pabrik tadi,” kata Nur.