Bisnis.com, JAKARTA – Terbatasnya produk ekspor RI dengan pangsa pasar di atas 25 persen dan memperlihatkan tren pertumbuhan dalam lima tahun terakhir dipandang sebagai sinyal positif oleh sebagian pengusaha.
Pemerintah dinilai bisa memfokuskan ekspor dalam jangka pendek pada produk yang benar-benar unggul di negara tujuan.
“Negara-negara berorientasi ekspor cenderung punya fokus produk yang dipasarkan. Jika yang punya market power hanya 37 produk saya rasa justru jadi lebih fokus ke depannya,” kata Ketua Bidang Pembinaan Anggota dan Pengembangan Ekspor Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) Handito Juwono saat dihubungi, Selasa (9/2/2021).
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menunjukkan bahwa hanya terdapat sekitar 37 produk ekspor di 33 negara akreditasi yang masuk kategori winning excellent, yakni produk dengan nilai ekspor di atas US$100.000, pangsa pasarnya lebih dari 25 persen, dan tren dalam lima tahun cenderung positif.
Sementara itu, 291 produk masuk kategori winning emerging dengan kriteria pangsa pasar di bawah 25 persen dan pertumbuhan positif. Produk dengan kekuatan pasar tinggi pun tercatat didominasi oleh produk komoditas seperti batu bara, karet, minyak sawit, kelapa, kakao, dan produk-produk hasil industri padat karya.
Handito berpandangan produk-produk dengan kekuatan pasar tinggi tersebut telah mencerminkan kondisi produksi di dalam negeri. Dia menyebutkan produk dalam kategori pertanian, industri makanan dan minuman, serta kreatif memiliki keunggulan komparatif yang memungkinkan Indonesia merebut pasar yang luas.
Baca Juga
“Untuk jangka pendek bisa menjadi andalan, namun ke depan Indonesia memang perlu basis produksi yang kuat. Hal ini sudah mulai terlihat dari komoditas nikel misalnya,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengemukakan satu-satunya penghalang eksternal bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar produk adalah kebijakan di negara tujuan yang secara eksplisit menolak produk Indonesia.
Secara umum, kompetisi di negara tujuan dia sebut murni terjadi pada produk serupa yang juga dihasilkan oleh negara lain.
“Jadi yang perlu dilakukan pertama kita harus evaluasi dulu masalah daya saingnya ada di mana. Kalau masalah daya saingnya bersifat sangat intrinsik seperti kualitas, maka yang perlu dibenahi adalah sisi produksi,” kata Shinta.
Dia mengatakan perbaikan dari sisi produksi terkadang memerlukan reformasi besar-besaran, seperti yang terjadi pada produk manufaktur nasional yang umumnya kehilangan tenaga untuk ekspor karena berbagai masalah di hulu.
“Jika masalah daya saing sudah dibenahi, barulah dibantu dengan pemasaran di negara tujuan,” kata Shinta.
Kementerian Perdagangan sejatinya telah mengidentifikasi 10 produk Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif di mana negara produsen memiliki kekuatan untuk memengaruhi harga.
Produk-produk itu mencakup minyak sawit dan turunannya yang menguasai pangsa pasar global sebesar 53 persen, oleokimia sebanyak 31,9 persen, margarin 13 persen, lemak kakao 12,9 persen, cengkeh 36,1 persen, sarang burung walet 47,8 persen, kertas tisu 18,9 persen, flooring dari kayu 12,7 persen, timah 24,7 persen, dan nikel dengan pangsa pasar sebesar 28 persen.
Di antara produk-produk ini, beberapa tercatat tumbuh positif selama pandemi. Di antaranya produk besi dan baja, salah satu turunan nikel, yang naik 46,84 persen dibandingkan dengan 2019, produk mebel naik 11,64 persen, CPO tumbuh 17,5 persen, kakao naik 3,8 persen.