Bisnis.com, JAKARTA - Konsumsi rumah tangga pada kuartal IV/2020 cenderung membaik meski masih berada di teritori minus.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi pada kuartal I/2020 naik 2,83 persen secara tahunan. Kemudian, konsumsi pada kuartal II/2020 terkontraksi 5,52 persen, dan berlanjut di kuartal III minus 4,05 persen, serta kuartal IV minus 3,61 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa dilihat dari data yang ada, kenaikan persentase kuartal IV/2020 ke kuartal III/2020 tak sebagus kenaikan di kuartal sebelumnya. Pemulihannya melambat.
“Triwulan II/2020 minus 5,52 persen dan triwulan III/2020 minus 4,05 persen ini ada perbaikan sekitar 1,40 persen. Tapi dari triwulan III/2020 ke triwulan IV/2020 perbaikannya lebih kecil, yaitu sekitar 0,4 persen. Jadi ini lebih buruk,” katanya saat dihubungi, Jumat (5/2/2021).
Tauhid menjelaskan bahwa angka ini bisa turun karena hampir seluruh pengeluaran rumah tangga negatif. Bahkan, yang paling parah adalah untuk makanan dan minuman. Padahal, sektor tersebut kontribusinya paling besar.
“Artinya, masyarakat tidak bisa lagi mempertahanan kebutuhan hidupnya untuk makan dan minum. Artinya, daya beli turun drastis,” jelasnya.
Baca Juga
Daya beli untuk kebutuhan pokok yang turun, tambah Tauhid, disebabkan tidak berpengaruhnya stimulus yang diberikan negara. Padahal, tahun lalu belanja pemerintah yang besar diharapkan menjadi pengungkit konsumsi publik.
Menurutnya, ada yang salah dari bantuan pemerintah. Apakah itu sasarannya yang tidak tepat atau jumlahnya tidak memadai sehingga tak mampu mendorong konsumsi.
Di sisi lain, belanja pemerintah pada kuartal IV/2020 sebesar 1,76 persen tidak setinggi periode sebelumnya secara tahunan yaitu 9,76 persen. Seharusnya, jelang akhir tahun belanja berada di puncak.
“Ini dikarenakan ada penghematan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan agar berhemat tidak boleh keluar kota. Pertemuan hotel dikurangi. Otomatis belanja perjalanan dinas kosong,” ucap Tauhid.