Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gagal Ditampung UU Cipta Kerja, OECD Soroti Pasal Nasionalisasi

OECD menyorot Pasal 7 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang dianggap mengikis hak investor. Pasal ini luput dalam penyusunan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Chateaux de la Muette, kantor pusat OECD, di Paris, Prancis/ OECD
Chateaux de la Muette, kantor pusat OECD, di Paris, Prancis/ OECD

Bisnis.com, JAKARTA - OECD dalam ‘Kajian Kebijakan Indonesia 2020’ yang dirilis belum lama ini, menyorot Pasal 7 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang dianggap mengikis hak investor. Pasal ini luput dalam penyusunan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dengan demikian, aturan ini masih membuka celah bagi pemerintah untuk melakukan nasionalisasi dengan memberikan kompensasi yang nilainya ditetapkan oleh harga pasar.

Jika tidak ada kesepakatan tentang kompensasi, maka penyelesaian dilakukan melalui arbitrase. Sementara itu, UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun lalu tidak mengakomodasi substansi yang berisi tentang tindakan nasionalisasi itu.

Menurut OECD, beberapa hal yang membutuhkan penjelasan adalah perlindungan kepada penanam modal dari pengambilalihan secara tidak langsung, serta pengecualian terhadap perlindungan hak pemerintah mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.

Selain itu, juga metodologi valuasi untuk menentukan harga pasar terhadap aset yang akan diambil alih oleh pemerintah.

“Perlindungan penting bagi penanam modal adalah jaminan bebas dari nasionalisasi atau pengambilalihan sebagamana tercantum pada Pasal 7 UU Penanaman Modal,” tulis rekomendasi OECD yang dikutip Bisnis, Rabu (20/1).

Sebenarnya, komunitas global bukan tidak setuju dengan adanya nasionalisasi ini. Hanya saja, perkara tersebut perlu lebih terperinci. Misalnya, adanya pengecualian secara umum, seperti hak pemerintah melakukan nasionalisasi untuk kepentingan masyarakat dalam situasi tertentu.

Indonesia juga perlu menegaskan apakah kompensasi atas nasionalisasi itu meliputi bunga. Jika demikian, maka harus diperjelas mekanisme penghitungannya.

OECD memandang perlunya pembedaan antara pengambilalihan dengan hak kompensasi dan tanpa hak kompensasi. “Ini untuk memberikan ruang kepada pemerintah dalam melaksanakan kebijakan publik tanpa terhambat kewajiban membayar ganti rugi,” jelas OECD.

“Ini untuk memberikan ruang kepada pemerintah dalam melaksanakan kebijakan publik tanpa terhambat kewajiban membayar ganti rugi,” jelas OECD.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Tegar Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper