Bisnis.com, JAKARTA – Dilantiknya Joe Biden sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat digadang-gadang bisa memberi prospek cerah pada ekspor RI.
Dilengkapi dengan fasilitas tarif preferensi umum (Generalized System of Preferences/GSP) bagi Indonesia yang resmi diperpanjang pada November 2020 dan dicabutnya fasilitas serupa dari negara pesaing, utilisasi diharapkan bisa terkerek.
Namun, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani berpandangan peluang ini memerlukan usaha yang besar untuk dicapai. Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar dari segi kesiapan memasok produk yang memenuhi syarat diganjar tarif preferensi.
Meski prospek permintaan dari AS cukup cerah, perlu digarisbawahi bahwa utilisasi GSP baru mencapai 13,1 persen dari total ekspor RI ke AS yang mencapai US$20,1 miliar. Selain itu, dari total 3.572 pos tarif yang mendapat fasilitas GSP, Indonesia baru mengekspor 729 pos tarif.
Shinta menduga rendahnya pemanfaatan terjadi lantaran produk yang mendapat fasilitas tak seluruhnya dihasilkan Indonesia. Kalaupun dihasilkan di dalam negeri, terdapat daya saing yang masih jadi pengganjal meski tarif preferensi sudah diganjar.
“Kita belum bisa manfaatkan secara penuh GSP ini. Namun kendalanya adalah karena kita tidak punya produk tersebut [di luar 729 pos tarif yang dimanfaatkan],” kata Shinta saat dihubungi, Rabu (20/1/2021).
Baca Juga
Jika ditelaah, ekspor terbesar RI ke AS didominasi oleh komoditas krustasea (udang-udangan), karet alam, alas kaki dari karet, dan produk aparel.
Namun, tidak semua pos tarif pada kelompok ini mendapat fasilitas GSP. Mengutip laporan Biro Sensus Amerika Serikat, impor AS dari Indonesia yang masuk dengan fasilitas GSP didominasi oleh produk perhiasan, furnitur, tas travel, produk kayu, elektronik, dan produk berbahan karet.
“Kami sudah lihat masalah Indonesia ada di sini, ekspor kebanyakan dalam bentuk mentah. Kita perlu mapping mana saja yang bisa kita ekspor dan ada demand di AS dan apa saja yang bisa berkompetisi dengan adanya fasilitas ini,” kata dia.
Shinta mengatakan ekspor Indonesia secara umum belum optimal dan masih tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Sebagai contoh, data Trademap menunjukkan ekspor terbesar negara Asean ke AS berasal dari Vietnam dan Malaysia dengan nilai masing-masing US$69,4 miliar dan US$41,5 miliar.
“Artinya ada aspek dari produk yang kita produksi dan dari daya saingnya. Kalaupun ada GSP, kita tidak bisa manfaatkan kalau kita tidak bisa produksi produk yang sesuai konsesi tarif,” sambungnya.
Selain pekerjaan rumah dari segi kesiapan menyajikan produk yang belum dimanfaatkan GSP-nya, Shinta menyoroti pula soal sifat GSP yang bisa ditinjau ulang oleh AS karena bersifat unilateral. Karena itu, skema limited trade deal (LTD) mengemuka agar tarif preferensi ini bisa bersifat permanen.
“Hanya saja kendalanya begini, dari sudut Amerika Serikat apa urgensi mereka melakukan itu untuk Indonesia? Kita tidak bisa hanya mengejar ekspor yang naik. Tetapi apa yang akan kita impor? Bagaimanapun Biden tetap menyoroti neraca dagang karena dia mengedepankan fair trade,” ujar Shinta.
Sejauh ini, LTD masih dalam tahap pengkajian di internal Pemerintah Indonesia. Lewat proposal tersebut, Indonesia mengharapkan total perdagangan dengan AS dapat mencapai US$60 miliar sampai 2024.