Bisnis.com, JAKARTA – Setelah melalui rangkaian pertarungan melelahkan dengan Donald Trump, Joe Biden akan dilantik sebagai presiden baru Amerika Serikat (AS) pada Kamis (20/1/2021) waktu setempat. Kehadiran politikus Demokrat tersebut ke Gedung Putih diharapkan mengembalikan stabilitas AS sebagai negara maju dalam berbagai aspek, termasuk perdagangan.
AS era Trump telah mengambil berbagai langkah di sektor perdagangan yang menyulut protes. Di antaranya menarik diri dari Trans Pacific Partnership (TPP), perjanjian dagang antara AS dengan negara-negara Asia-Pasifik yang diiniasi era kepresidenan Barack Obama.
Trump juga menunda pembicaraan perjanjian dagang AS-Uni Eropa (UE) serta melumpuhkan penyelesaian sengketa World Trade Organization (WTO) lewat ancaman keluar dari organisasi dagang global tersebut.
Trump pula yang menerapkan tarif khusus perdagangan baja dan alumunium, barang-barang konsumer, serta melakukan renegosiasi perjanjian dagang dengan negara-negara seperti Meksiko, Kanada, Korea Selatan, hingga Jepang. Itu belum termasuk manuver terbesarnya, menyulut perang dagang dengan China yang berimplikasi pula ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dalam kampanye kepresidenannya, Biden sempat menjanjikan bakal melakukan banyak perubahan. Hal ini wajar mengingat berbagai rekam jejaknya sebagai Wakil Presiden (Wapres) pada masa Obama yang kerap membuahkan langkah-langkah bertolak belakang dengan era Trump.
Pengamat senior Council on Foreign Relation (CFR) Edward Alden menilai perubahan terbesar yang bakal dibawa Biden adalah merumuskan ulang prioritas kabinet Trump yang lebih banyak diarahkan pada korporasi besar.