Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus Beras Oplosan Lumrah, Ada Masalah Standarisasi

Praktik mengoplos beras merupakan buah dari pemberlakuan standar beras yang kurang ketat.
Pekerja berada di gudang Bulog di Jakarta, Rabu (2/9/2020). Bisnis/Nurul Hidayat
Pekerja berada di gudang Bulog di Jakarta, Rabu (2/9/2020). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Ditemukannya beras impor yang dioplos dengan beras lokal dipandang ekonom bukanlah hal yang ganjil. Praktik ini kerap ditemui karena pengawasan beras hasil produksi lokal ke hilir cenderung tidak ketat.

“Oplos-mengoplos ini sudah menjadi hal yang lumrah. Misal untuk beras konsumsi yang diimpor untuk pasokan dan stabilisasi harga, karena jenisnya pera biasanya dicampur dengan beras lokal agar bisa diterima masyarakat luas,” kata Pegiat Komite Pendayagunaan Petani dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori saat dihubungi, Selasa (19/1/2021).

Khudori menjelaskan bahwa praktik mengoplos beras merupakan buah dari pemberlakuan standar beras yang kurang ketat.

Dia mencatat setidaknya ada tiga aturan berbeda yang mengatur kualitas beras yakni dalam SNI 6128:2015, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/2017 tentang Kelas Mutu Beras, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras (HET).

Sebagai contoh, derajat sosoh beras premium di SNI dipatok di angka 100 persen, kadar air maksimal 14, beras kepala 95 persen, dan butir patah 5 persen.

Sementara dalam Permentan, derajat sosoh diturunkan menjadi 95 persen, maksimal kadar air 14 persen, beras kepala 85 persen, dan butir patah 15 persen. Adapun Permendag soal HET beras hanya menggunakan tiga poin acuan yang sama seperti diatur dalam Permentan untuk beras premium.

“Sebetulnya kita ada SNI beras, tetapi yang jadi problem adalah meski sudah ada SNI, masih ada lagi aturan lain yang mengatur soal kualitas beras,” kata Khudori.

Di sisi lain, undang-undang yang mengatur tentang standardisasi menyebutkan pula bahwa kebijakan standardisasi dan penilaian kesesuaian ditentukan oleh kementerian yang mengoordinasikan. Dalam hal ini, Permentan Nomor 31/2017 punya posisi sebagai aturan teknis yang mengatur standar beras.

Khudori mengatakan Permentan ini memiliki kelemahan karena tidak mengatur standar metode penilaian kesesuaian mutu dan siapa yang mengeksekusinya. Karena itu, aturan ini bisa menjadi celah munculnya kejahatan pangan yang merugikan konsumen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper