Bisnis.com, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 merupakan krisis global yang telah menjalar ke 220 negara dengan total kasus sudah mencapai 68,6 juta orang pada 9 November 2020. Covid-19 merupakan pandemi terbesar ketiga setelah Black Death dan Flu Spanyol yang telah menelan banyak jiwa. Pandemi Covid-19 bukan hanya menyebabkan krisis kesehatan dan perekonomian, tetapi juga menyebabkan krisis sosial.
Dalam setiap situasi krisis, kelompok yang paling rentan mengalami kesenjangan, diskriminasi, dan kekerasan adalah kelompok marginal, termasuk perempuan. Apalagi, perempuan saat ini banyak yang bekerja pada sektor informal dan atau dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja 2020, rata-rata upah laki-laki sebesar Rp2,98 juta, sedangkan perempuan Rp2,35 juta.
Bahkan, perempuan seringkali tidak memiliki perlindungan hukum dan sosial yang memadai (Alon dkk, 2020). Kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan bagi para perempuan.
Pandemi saat ini telah memukul sektor-sektor ekonomi yang banyak dikerjakan oleh perempuan, seperti akomodasi, restoran, industri makanan dan minuman, kerajinan, dan jasa lainnya. Hal ini dapat berimplikasi pada peningkatan angka pengangguran yang berujung kepada peningkatan angka kemiskinan perempuan.
Berdasarkan temuan Cuesta dan Pico (2020), penambahan penduduk miskin di Kolombia akibat pandemi mencapai 1,5 juta hingga 4,4 juta jiwa. Sekitar 50,5% penduduk miskin baru merupakan perempuan dan 81,6% tinggal di daerah perkotaan. Mayoritas orang miskin baru tersebut merupakan individu yang tidak dapat melanjutkan kerja dan mendapat penghasilan.
Sejak diberlakukannya kebijakan lockdown di berbagai negara, banyak kegiatan yang terpaksa dilakukan dari rumah, seperti halnya bekerja dan sekolah. Hal ini tentu menimbulkan dampak berganda terhadap perempuan pekerja. Selain memiliki beban pekerjaan, perempuan dibebani dengan tanggung jawab memastikan kegiatan belajar mengajar di rumah bagi anak-anak, merawat anggota keluarga, mengurus rumah, serta mengelola keuangan rumah tangga.
Berdasarkan temuan entitas Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) pada 23 Oktober 2020 lalu, terungkap bahwa sejak pandemi menghantam, sebanyak 36% perempuan pekerja informal harus mengurangi waktu kerja mereka dan 69% dari mereka mengaku lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
STRES MENINGKAT
Perempuan pun cenderung yang paling banyak mengambil alih tugas mengajar anak-anak di rumah selama penutupan sekolah. Akibatnya, 57% perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan akibat bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta mengalami kekerasan.
Angka kekerasan terhadap perempuan juga meningkat pada masa pandemi. Mengacu kepada data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) per Mei 2020, dari 892 pengaduan yang diterima lembaga itu, 69% di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Mayoritas laporan tersebut masuk pada saat penerapan kebijakan PSBB di sejumlah daerah. Kondisi ini mengindikasikan adanya pengaruh tekanan ekonomi terhadap kekerasan di dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya akan meninggalkan trauma bagi perempuan, tetapi juga dapat menurunkan daya tahan tubuh mereka sehingga rentan terhadap penyakit.
Pandemi Covid-19 menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang menguntungkan. Pasalnya, kebijakan bekerja dari rumah akan memperburuk ketidaksetaraan gender dalam pasar tenaga kerja. Apalagi, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan di Indonesia selama ini terbilang rendah. Per Agustus 2020, TPAK perempuan sebesar 53,13%, sementara TPAK laki-laki mencapai 82,41%.
Jika pemberdayaan terhadap perempuan tidak segera mendapatkan perhatian serius, TPAK perempuan berpotensi mengalami penurunan secara persisten. Padahal, jumlah penduduk usia kerja perempuan mencapai 102 juta jiwa, lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang berjumlah 101 juta jiwa (BPS, 2020).
Fenomena yang tengah terjadi di masyarakat ini membuktikan bahwa pandemi telah memperparah kerentanan ekonomi perempuan dan kesenjangan gender di Indonesia. Kondisi ini jelas mengancam kemajuan pencapaian Agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Alhasil, mengatasi dampak Covid-19 yang dirasakan perempuan merupakan kunci untuk memastikan agenda SDGs dapat tercapai.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengawal agenda SDGs tersebut adalah menyediakan data yang komprehensif dan valid mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap gender dan pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Dengan data tersebut, kebijakan yang lebih baik dan tepat sasaran dapat dirumuskan dan diimplementasikan dengan lebih baik, sehingga peningkatan kesejahteraan serta kesetaraan perempuan dapat tercapai.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (15/12/2020)