Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan akan banyak investasi yang masuk ke industri tekstil pada 2021. Adapun, perlindungan pasar domestik dari arus impor menjadi kunci utama realisasi tersebut.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta meramalkan utilisasi industri serat dan benang bisa ke atas level 90 persen pada tahun depan. Menurutnya, realisasi proyeksi tersebut hanya dapat terjadi jika pemerintah konsisten dalam melindungi pasar domestik.
"[Saat ini] beberapa pabrikan sudah beli mesin.Saya kira, 2021 secara keseluruhan, kalau pemerintah kendalikan impor, akan ada banyak investasi. Saya lagi hitung [sekarang] berapa investasi yang akan terjadi pada 2021," katanya kepada Bisnis, Minggu (6/12/2020).
Seperti diketahui, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memiliki tiga titik rantai pasok secara umum, yakni serat dan benang, kain, dan garmen. Redma menyatakan perlindungan impor pada 2021 akan ditekankan pada industri kain nasional.
Hingga akhir 2020, Redma memprediksi volume impor kain dalam segala bentuk akan turun sekitar 11 persen secara tahunan menjadi 800.000 ton. Redma menyampaikan penurunan volume impor tersebut disebabkan oleh pengurangan izin impor oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Redma berujar akan terjadi lonjakan investasi pada industri kain jika volume impor tersebut dapat kembali turun sekitar 15 persen pada 2021 menjadi 680.000 ton. Oleh karena itu, Redma menyarankan agar pemangku kepentingan memiliki satu visi yang sama pada 2021, yakni pengurangan impor.
Baca Juga
"Yang bikin Pak Bahlil Lahadalia dimarahi Presiden Joko Widodo karena kebijakan [tata niaga nasional] pro-impor. Kalau Sri Mulyani Indrawati mau kasih tax allowance, tax holiday, dan insentif fiskal lain tapi tidak punya pasar, ya tidak mungkin ada investasi," ucap Redma.
Kemenperin mencatat laju pertumbuhan industri TPT di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2019, industri TPT mampu tumbuh sebesar 15,35% atau naik signifikan dibanding dengan 2018 yang mencapai 8,73%. Sementara itu pada 2017, industri ini tercatat tetap mengalami pertumbuhan di angka 3,83%. Pertumbuhan ini didukung tingginya produksi pakaian jadi di sentra industri TPT.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II tahun 2020, industri TPT memberikan kontribusi terhadap PDB sektor industri pengolahan non migas sebesar 6,93 persen. Sementara untuk kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, industri TPT menempati urutan keempat menjadi kontributor terbesar yang mencapai 1,24 persen.
Dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, industri TPT nasional ditargetkan masuk lima besar pemain dunia pada 2030. Daya saing sektor ini tecermin dari kinerja ekspornya sepanjang 2019 yang mencapai US$12,89 miliar, dan pada periode Januari-Juli 2020 telah menembus hingga US$6,15 miliar. Selain itu, sebagai sektor padat karya, industri TPT telah menyerap tenaga kerja lebih dari 3,6 juta orang.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Muhammad Khayam mengatakan industri TPT telah memiliki struktur industri cukup lengkap dan terpadu. Di sektor hilir misalnya, terdapat industri stapel dan filamen yang memiliki kapasitas produksi sebanyak 1 juta ton per tahun dan terintegrasi dengan industri bahan baku kimianya.
Selain itu, di sektor hulu, sejak 2019, industri rayon mengalami peningkatan kapasitas produksi dari 536.000 ton menjadi 856.000 ton per tahun.
"Perkembangan industri rayon terus kami dorong untuk menjadi substitusi impor bahan baku kapas yang selama ini bergantung pada pasokan luar negeri. Pada industri benang, kita juga memiliki kapasitas cukup besar hingga 3,2 juta ton per tahun yang juga menjadi andalan ekspor setelah pakaian jadi," ucapnya.