Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri tekstil meminta agar revisi Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) No. 77/2019 dipercepat. Selain memberikan dorongan negatif bagi investasi pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT), beleid tersebut kini menghasilkan masalah baru.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan saat ini pelaku industri benang nasional dituduh melakukan praktik dumping benang bertekstur polyester oleh Amerika Serikat. Adapun, tuduhan tersebut disebabkan oleh rendahnya harga benang ekspor ke Negeri Paman Sam.
"Ada 11 perusahaan Indonesia yang mereka dituduh melakukan dumping. Setelah kami cek, anggota kami hanya 7 perusahaan, 2 perusahaan bukan, dan sisanya perusahaan logistik di pusat logistik berikat (PLB)," kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta dalam keterangan resmi, Jumat (27/11/2020).
United State International Trade Commission (USITC) melaporkan harga benang dari 11 entitas tersebut hanya berkisar US$1,7 per Kilogram. Selain itu, ada lonjakan impor benang polyester di Amerika Serikat sebesar 69,9 persen pada 2019 secara tahunan menjadi 6.800 tin senilai US$13,3 juta.
Redma mendata tujuh anggota APSyFI hanya mengekspor 5.000 ton benang ke Amerika Serikat senilai US$8,3 juta. Redma menyatakan rata-rata harga satuan tujuh pabrikan tersebut di atas US$2 per Kilogram.
Redma menduga 1.800 ton benang polyester yang diekspor ke Amerika Serikat hanya menggunakan Indonesia sebagai tempat singgah. Dengan kata lain, ada praktik transhipment 1.800 ton benang polyester ke Amerika Serikat.
Baca Juga
"Besar dugaan kami bahwa ini produk transhipment dari China atau India yang masuk lewat PLB kemudian dilabeli produk Indonesia dan diekspor ke Amerika Serikat, karena pada 2018 benang polyester China dan India lebih dulu terkena antidumping di Amerika Serikat," ucapnya.
Redma menyatakan makna mengambil jalur hukum atas potensi kerugian yang menimpa anggotanya akiba tuduhan tersebut. Menurutnya, ketujuh anggota tersebut berpotensi kehilangan pasar ekspor benang polyester senilai US$8,3 juta.
"Importir ini sangat hebat mempengaruhi kebijakan perdagangan kita hingga 1 perusahaan API-P bodong bisa mendapatkan kuota impor yang sangat besar dan terlindungi oleh aturan," katanya melalui siaran pers, Senin (9/11/2020).
Menurutnya, dalam kasus importasi illegal tekstil di Batam yang menjadikan lima orang tersangka termasuk pejabat Bea Cukai, dilakukan oleh dua perusahaan API-P bodong yang mendapatkan kuota impor jutaan meter kain tenun dan ribuan ton kain rajut bahkan hingga diberikan kuota tambahan.
Redma pun menampik jika kebijakan proimpor yang dilakukan pemerintah berperan dalam mendorong pertumbuhan industri hingga 14 persen pada 2014. Dia mengungkapkan pertumbuhan 2019 didorong oleh realisasi pabrikan rayon yang memang terjadi pada 2018-2019.
"Jadi bukan karena kebijakan importasi, lihat saja di 2019 banyak PHK dan pabrik-pabrik tekstil gulung tikar gara-gara impornya banjir," ujarnya.
Menurut Redma, APSyFI tidak habis pikir jika saat ini masih ada pejabat yang masih pro kebijakan impor. Padahal perintah Presiden sudah jelas untuk impor hanya bahan yang tidak bisa diproduksi didalam negeri saja, Menteri Perindustrian juga jelas menargetkan pengurangan impor hingga 35 persen.
Selain itu, terkait revisi Permendag 77/2019 yang juga dirasakan berlarut-larut. "Ini kita bahas sejak Maret, sampai sekarang belum keluar, informasinya sudah ada di Kemenkumham untuk diundangkan."