Bisnis.com, JAKARTA - Krisis yang menekan performa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia ternyata jauh lebih buruk dari perkiraan. Tak hanya kesulitan merambah pangsa pasar ekspor yang lebih luas, produk tekstil lokal nyatanya harus menghadapi penurunan serapan di pasar domestik karena kalah bersaing dengan produk impor.
Peneliti Indotex sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan kinerja perdagangan TPT Indonesia sejatinya meningkat dalam kurun 2008-2019 dengan rata-rata pertumbuhan 2,5 persen setiap tahunnya. Nilai ekspor TPT disebutnya sempat menyentuh nilai US$13 miliar pada 2018 meski turun pada 2019 menjadi US$12 miliar.
Meski ekspor tumbuh, pada saat yang sama impor TPT juga mengalami kenaikan dengan rata-rata pertumbuhan yang 3 kali lebih tinggi dari peningkatan ekspor. Sepanjang 2008-2019, rata-rata kenaikan impor mencapai 8,9 persen.
“Yang mengkhawatirkan devisa bersih selisih ekspor dan impor TPT terus tergerus setiap tahun. Impor justru naik sangat tinggi, 2008 hanya sekitar US$4 miliar kalau sekarang posisi sudah hampir US$9 miliar,” kata Redma dalam webinar Penyelamatan Industri Tekstil & Produk Tekstil Nasional, Rabu (26/8/2020).
Redma menyatakan daya saing industri dalam negeri belum cukup untuk mendorong ekspansi ekspor dan terbatas pada menjaga pasar yang telah ada. Di sisi lain, belum ada upaya konkrit untuk membendung derasnya impor dari negara-negara dengan efisiensi yang kian membaik seperti Bangladesh dan Vietnam.
Sebagai perbandingan, pangsa pasar ekspor Indonesia di level global tercatat turun dari 1,66 persen pada 2009 menjadi 1,58 persen pada 2018. Sebaliknya, Bangladesh justru berhasil meningkatkan pangsa dari 2,43 persen menjadi 4,72 persen dan Vietnam dari 1,86 persen menjadi 4,59 persen.
Baca Juga
Pada saat yang sama, rasio impor TPT terhadap ekspor Indonesia naik hampir dua kali lipat dari 40,6 persen menjadi 73,1 persen. Sementara rasio impor TPT Vietnam terhadap ekspor turun dari 61,9 persen menjadi 42,5 persen.
“Vietnam bisa menaikkan ekspor dan mengurangi impor sehingga rasionya kini menurun. Indonesia justru terbalik. Maka pertumbuhan impor yang lebih tinggi jelas terjadi dan sumbangan devisa perdagangan TPT tergerus,” lanjutnya.
Produk dalam negeri disebut Redma punya peluang untuk memanfaatkan pasar dalam negeri dengan modal yang saat ini tersedia. Kendati demikian, terhadap masalah daya saing yang membuat produk lokal kalah bersaing dan tertekan produk impor.
Hal ini terlihat dari penjualan produk lokal yang fluktuatif dalam tiga tahun terakhir. Serapan domestik sempat menyentuh 1,92 juta ton pada 2018, namun turun menjadi 1,65 juta ton pada 2019. Sebaliknya pasar produk impor tumbuh dari 142.000 ton pada 2013 menjadi 193.000 ton pada 2019.
Masalah lain muncul dari impor tekstil yang dinilai terlalu direlaksasi lewat fasilitas pusat logistik berikat (PLB) dan post border. Kondisi ini diperburuk dengan maraknya impor nonprosedural oleh oknum-oknum nakal lewat berbagai modus.