Bisnis.com, JAKARTA - Perpanjangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia diyakini bakal memacu nilai perdagangan hingga US$60 miliar antara Indonesia - AS atau naik dua kali lipat.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan adanya fasilitas perpanjangan GSP akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri untuk diekspor ke pasar AS.
“Ambisi dari kedua pemerintah untuk melipatgandakan nilai perdagangan kisaran mendekati US$30 miliar pada prakiraan tahun ini menjadi US$60 miliar dalam 5 tahun [mendatang] jadi dua kali lipat,” katanya dalam press briefing, Minggu (1/11/2020).
Perpanjangan fasilitas GSP diteken setelah United States Trade Representative (USTR) telah melakukan peninjauan terhadap fasilitas GSP selama kurang lebih 2,5 tahun sejak Maret 2018.
Mahendra mengatakan bahwa kesepakatan ini dicapai berkat hubungan dan komunikasi yang baik antara Indonesia - AS.
GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974. Sementara Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada 1980.
Baca Juga
Indonesia mencatatkan 3.572 pos tarif yang telah diklasifikasikan masuk skema GSP yang terdiri dari produk manufaktur dan semi manufaktur, pertanian, perikanan dan industri primer.
Berdasarkan data statistik dari United States International Trade Commission (USITC) pada 2019 ekspor Indonesia yang menggunakan GSP mencapai US$2,61 miliar atau setara 13,1 persen dari total ekspor Indonesia ke AS.
Pertumbuhan ekspor produk fasilitas GSP juga meningkat kendati di tengah pandemi. Pada periode Januari-Agustus 2020 nilai ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat US$1,87 miliar atau naik 10,6 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Di samping menentukan target ekspor, pemerintah Indonesia juga meyakini kesepakatan ini akan meningkatkan realisasi investasi AS di Indonesia di berbagai sektor utama, seperti information, communication, and technology (ICT), keuangan, dan migas.
Selain itu, Mahendra juga menyampaikan bahwa sudah ada lembaga pengelola investasi (sovereign wealth fund) yang fokus memberikan pembiayaan proyek infrastruktur berminat untuk berinvestasi di Indonesia.
“Minggu lalu CEO dari US Development Finance Corporation yang sangat berminat untuk melakukan investasi dalam lembaga pengelola investasi Indonesia telah datang dan mematangkan kerjasama dengan pihak Indonesia,” ungkapnya.