Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri mainan menolak wacana pengurangan lembaga sertifikasi produk atau LS Pro oleh Kementerian Perindustrian dari 59 lembaga menjadi satu atau dua lembaga saja.
Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas mengatakan tujuan pemerintah agar LS Pro berfokus pada PT Sucofindo juga tidak akan baik untuk industri. Menurutnya, saat ini lembaga yang bisa melakukan sertifikasi mainan hanya ada tiga laboratorium saja.
"Kalau itu juga dikurangi maka industri kita bisa stagnan, ada lebih dari 100 produk mainan SNI apa Sucofindo mampu memfasilitasi itu?" katanya dalam Webinar Pro Kontra Wacana Monopoli LS Pro, Selasa (20/10/2020).
Adapun PT Sucofindo telah ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian sebagai salah satu lembaga yang melakukan pemeriksaan, pengawasan, pengujian untuk Sertifikasi dan Pengujian Mutu Produk.
Sutjiadi pun mengklaim pada 2014 pihaknya sudah berpengalaman menggunakan LS Pro pemerintah. Hasilnya, hingga empat bulan sertifikasi itu belum selesai dan mengharuskan industri melayangkan protes pada Kemenperin.
Sutjiadi pun tak mau hal tersebut terulang kembali. Apalagi umumnya dalam monopoli maka harga yang dibayarkan akan lebih mahal. Selama ini dengan LS Pro swasta industri telah mendapat kecepatan dan harga yang murah untuk produk yang harus segera dipasarkan.
Baca Juga
"Saya juga mau koreksi penyataan Menperin yang mengatakan di negara lain hanya memiliki satu LS Pro. Itu salah, di negara lain LS Pro juga banyak untuk memfasilitasi industri," ujarnya.
Sutjiadi pun sepakat bahwa yang terpenting saat ini adalah pemerintah tidak boleh melakukan monopoli LS Pro tetapi harus meningkatkan mutu kualitas yang ada dengan diberikan pendidikan dan pelatihan terutama bagian pengujian dan inspeksi.
Sisi lain, setelah terpuruk dalam utilisasi di level 35 persen akibat pengetatan aktivitas dalam masa pandemi covid-19, industri mainan kini mengklaim sedikit perbaikan.
Saat ini utiliasi sudah ada peningkatan sekitar 5 persen. Hal itu dikarenakan mainan impor yang masuk sudah mulai berkurang dan diimbangi dengan produksi lokal yang naik.
Sutjiadi berharap perbaikan tersebut akan terjadi hingga akhir tahun. Hal itu agar menjadikan pengusaha lebih bergairah dalam menjalankan bisnisnya.
Sebelumnya AMI, mendata utilitas rata-rata pabrikan pada Februari 2020 masih berada di kisaran 60-70 persen. Selanjutnya pada pertengahan tahun anjlok pada 35 persen disebabkan oleh adanya kebijakan PSBB di sejumlah daerah.
"Bulan April dan Mei banyak industriawan yang sudah menutup pabriknya tetapi barang produksi terus tapi tidak bisa dijual," ujar Sutiadji.
Selain PSBB kala itu, Sutjiadi berujar rendahnya utilitas industri mainan disebabkan oleh tersendatnya importasi bahan baku. Seperti diketahui, 35 persen bahan baku komponen mainan elektronik masih diimpor, khususnya dari China.
Maka dari itu, Sutjiadi saat ini sedang menjajaki penarikan investasi bahan baku industri mainan dari Negeri Panda. Menurutnya, hal tersebut penting lantaran volume bahan baku yang diserap industri mainan cukup tinggi.
"Baut [khusus mainan] saja satu pabrik butuh 600 kilogram per bulan karena satu mainan minimal butuh 10 baut. Seluruh industri mainan bisa menyerap 5 ton untuk baut saja," ucapnya.