Bisnis.com, JAKARTA – Bahaya yang mengintai di sektor real estat China yang sarat utang tidak pernah begitu jelas hingga akhir bulan lalu, ketika kabar tentang kemungkinan terjadi krisis uang tunai di Evergrande Group, pengembang properti yang paling banyak berutang di dunia, membuat investor bersiap meninggalkannya.
Dengan tujuh lagi dari 10 pengembang yang paling banyak berutang juga berbasis di China, pembuat kebijakan di Beijing telah menyusun apa yang disebut media yang dikelola pemerintah sebagai "tiga garis merah" - metrik pada utang yang harus dipenuhi oleh pengembang jika mereka ingin meminjam lebih banyak.
Pendekatan baru ini cukup menjanjikan untuk menjadi pengubah permainan untuk sektor yang menyumbang sekitar 29 persen dari output ekonomi.
Bank Rakyat China dan Kementerian Perumahan mengumumkan pada Agustus bahwa mereka telah menyusun aturan pembiayaan baru untuk perusahaan real estat. Pengembang yang ingin kembali mendapatkan pinjaman akan dinilai berdasarkan tiga garis merah atau ambang batas.
Akan ada batas atas 70 persen untuk kewajiban atas aset, tidak termasuk uang muka dari proyek yang dijual dengan kontrak; batas 100 persen atas utang bersih terhadap ekuitas; dan mereka harus memiliki rasio kas terhadap pinjaman jangka pendek minimal 1 berbanding 1.
Pengembang akan dikategorikan berdasarkan berapa banyak batasan yang mereka langgar, dan pertumbuhan utangnya akan dibatasi. Jika ketiganya dilanggar, perseroan tidak diperbolehkan menambah utang pada tahun berikutnya.
Baca Juga
Jika lolos ketiganya, pengembang bisa menaikkan utangnya maksimal 15 persen tahun depan. Namun, karena regulator belum mengumumkan penghitungan resminya, beberapa definisi tidak jelas.
Lalu, muncul pertanyaan mengapa mengenai hal ini digamnbarkan dengan garis merah? Harga rumah melonjak enam kali lipat selama 15 tahun terakhir, membuat kota-kota seperti Shenzhen kurang terjangkau dibandingkan dengan London, misalnya.
Pesta utang developer China menjadi pendorong penting kenaikan harga, memaksa mereka mengenakan biaya lebih untuk menutupi beban bunga yang meningkat. Pembeli potensial kembali secara besar-besaran karena krisis pandemi mereda, menjaga tekanan pada harga meskipun ekonomi global melambat.