Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan utilisasi industri hulu tekstil dan produk tekstil (TPT) tertahan pada kuartal III/2020. Pasalnya, penyempitan pasar akibat pandemi justru diisi oleh produk impor alih-alih barang lokal.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan seharusnya utilisasi industri hulu bisa berada di kisaran 70 persen - 75 persen pada awal kuartal IV/2020. Namun, rata-rata pabrikan memiliki utilisasi hanya di kisaran 50 persen.
"[Masalah] yang paling utama sebetulnya bukan daya beli turun, tetapi pasarnya masih penuh barang impor. Jadi, market sendiri direbut sama banyak pemain, termasuk pemain impor yang masih besar," kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta kepada Bisnis, Kamis (15/10/2020).
Redma berujar kombinasi penyusutan pasar dan masifnya produk impor membuat masalah baru saat ini. Menurutnya, perang harga yang notabene dilakukan oleh pemain lokal saat pasar susut justru dilakukan oleh sesama produk impor.
Alhasil, kesempatan pemain hulu dalam negeri semakin kecil untuk memasok pabrikan hilir. Redma menyampaikan kondisi tersebut diperburuk dengan masifnya volume garmen impor yang masuk ke dalam negeri. "Impor barang jadi mulai masuk, sementara impor kain tidak turun," ucapnya.
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 50/2020 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap Produk Kain. Beleid tersebut membuat kain dari China terkena bea masuk tambahan.
Baca Juga
Produk kain yang tercantum dalam 107 pos tarif dikenakan tarif mulai dari Rp1.718 per meter hingga Rp7.142 per meter berdasarkan jenis kain dan periode impor. Adapun, tarif tersebut akan berangsur mengecil hingga 8 November 2022.
Walakin, Redma menilai efektivitas safeguard tersebut menjadi rendah lantaran oknum importir kembali melakukan modus importasi lama seperti impor borongan maupun transhipment.
"Sudah [diskusi] sama Kementerian Perindustrian. Pak Menteri ingin tahu banyak tentang transhipment dan modus lainnya. Sebetulnya bea cukai tahu kasusnya," ucap Redma.
Redma juga mengusulkan adanya pemindahan dan pemusatan pelabuhan masuk produk impor ke wilayah Indonesia bagian timur. Pasalnya, pemindahan pelabuhan ke Pulau Sumatra sudah tidak efektif dalam melindungi pasar lantaran sudah terbangungnya jalan tol dan infrastruktur pendukung lainnya.
"[Usulan itu] yang juga diusulkan sama Kemenperin, tapi dari [Kementerian Perdagangan] dan [Direktorat Jenderal] Bea dan Cukai belum setuju," katanya.
Redma mencatat setidaknya ada lima pelabuhan yang memiliki modus transhipment maupun impor borongan, yakni pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Mas, Tanjung Perak, Batam, dan Belawan.