Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Ketenagakerjaan sekaligus Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono menilai ketentuan upah minimum kabupaten/kota (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) yang dihapuskan akan berdampak negatif pada buruh.
“Tidak benar UMSK dihapuskan, karena akan mengurangi penghasilan pekerja di sektor masing-masing,” katanya saat dihubungi Bisnis, Rabu (7/10/2020).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa pemerintah harus tetap menetapkan UMSK, karena keberadaan UMSK tidak dapat diganggu gugat. Pasalnya, menghapus UMSK dapat mengganggu daya beli pekerja.
“Jelas daya beli pekerja akan menurun dan pemulihan industri akan terhambat. Dengan turunnya upah, maka produktivitas pekerja akan menurun, dan akan mengganggu pertumbuhan industri sendiri,” ujarnya.
Dia mengatakan bahwa tidak ada jalan tengah kecuali UMSK diatur kembali, sehingga produktivitas pekerja naik dan produktivitas perusahaan tumbuh lagi.
Sementara itu, dalam aturan yang baru, Gubernur wajib menetapkan UMP dan boleh saja menetapkan UMK dengan syarat tertentu yang mengacu pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan inflasi daerah.
Baca Juga
Adapun dengan aturan tersebut UMK bukan lagi bersifat mandatori. Tetapi, jika Gubernur menetapkan UMK, nilainya harus lebih tinggi daripada UMP. Formulasi pengupahan menggunakan perhitungan inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
“UMK tidak mandatoris, tetapi nilainya harus diatas UMP. Menurut saya tidak logis. Berarti UMK terserah pada Gubernur dong. Jika mau menetapkan UMK lebih tinggi maka Gubernur akan menetapkannya. Tetapi jika tidak, Gubernur tidak menetapkannya. Menurut saya Gubernur cenderung untuk tidak menetapkan UMK,” katanya.
Menurutnya, dengan aturan tersebut jalan tengah yang perlu dihadirkan untuk UMK akan kembali lagi dari kejujuran Gubernur dalam transparansi keadaan ekonomi di lapangan
“Gubernur harus jujur, jika pertumbuhan ekonomi daerah lebih tinggi dan inflasi daerah lebih rendah, maka UMK dapat ditetapkan lebih tinggi. Sebaliknya jika mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi maka Gubernur harus berbuat apa, coba anda bayangkan? Apakah dia akan menetapkan UMK lebih tinggi dari UMP? Jelas nggak mungkin. Karena itu penetapan UMK itu tidak mandatoris,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengamini bahwa ketentuan baru tersebut akan berdampak pada penghasilan pekerja.
“Namun, nominalnya akan sangat variatif. Pasalnya tergantung penafsiran dan kepentingan kepala daerah masing-masing,” katanya.
Dia pun memperkirakan bahwa untuk tahun ini dampak ke pemulihan ekonomi tidak akan terlalu berpengaruh, karena fokus industri adalah bertahan menghadapi Covid-19.
“Namun, daya beli masyarakat yang berpotensi menurun, karena ekspektasi masyarakat akan masa depan menurun yang disebabkan oleh ketidakpastian. Sedangkan, pengusaha akan fokus kepada bertahan untuk 2021 sembari mempelajari dampaknya UU Cipta Kerja kepada usahanya,” katanya.
Lebih lanjut, Dianta mengatakan bahwa jalan tengah paling efisien saat ini adalah mempercepat komunikasi antar stakeholders dan jika ada ketidakpuasan secepatnya dapat diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Semoga MK juga bisa secepatnya mengambil keputusan,” kata Dianta.