Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) menolak ajakan aksi mogok kerja nasional dari puluhan pimpinan konfederasi serikat pekerja. Aksi yang dijadwalkan pada 6-8 Oktober 2020 itu sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja.
Seperti diketahui, Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja dijadwalkan disidangkan dan disahkan dewan legislatif pada 8 Oktober 2020.
"Kalau buruh itu mintanya terlalu tinggi, lebih-lebih usaha lagi susah sekarang, akhirnya perusahaannya bangkrut. Tapi, memang perlu ada perbaikan [dalam RUU tersebut]," ujar Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifudin kepada Bisnis, Jumat (2/10/2020).
Aip memberikan contoh beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam RUU tersebut seperti kepastian kepastian berusaha, kepastian bekerja, kepastian dana pensiun, dan kepastian jaminan kesehatan. Namun, Aip menilai RUU tersebut dibutuhkan agar investasi asing tidak lari ke negeri jiran.
Di sisi lain, karakteristik pabrikan tempe-tahu membuat tenaga kerja tidak bisa berhenti bekerja dari sisi proses produksi maupun arus kas. Pasalnya, 99 persen pabrikan tempe-tahu masih berskala industri kecil dan menengah (IKM) dan dikelola oleh keluarga.
Aip mendata saat ini ada 5 juta tenaga kerja industri tempe tahu yang terbagi dalam 160.000 IKM tempe tahu. Adapun, satu pabrikan terdiri dari 2-15 tenaga kerja yang notabene satu keluarga.
Baca Juga
Sementara itu, satu pabrik hanya memiliki kapasitas produksi senilai Rp500.000 dengan laba sekitar Rp50.000-Rp100.000 per hari. Dengan kata lain, keuntungan hasil produksi sebuah pabrikan ditujukan untuk kebutuhan hidup tenaga kerjanya pada hari yang sama.
"Kalau kami tidak produksi satu hari, besok makan apa? Kulturnya beda [industri] tempe-tahu itu," ujar Aip.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa organisasi cukup menyesalkan adanya beberapa pihak dari serikat pekerja yang melakukan mogok nasional.
“Kalau berbicara soal mogok nasional, ya susah [kami berkomentar]. Sejak mulai dari perundingan ada pihak yang tidak mau ikut, dan sudah walk out, bahkan belum membicarakan substansi saja sudah walk out. Ini ya sulit untuk saling mengerti nantinya,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa di UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang mogok kerja yang diartikan sebagai tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Selanjutnya, dalam pasal 137 juga disebutkan bahwa mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan.
Dia mengatakan bahwa sebagai salah satu pelaksanaan dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, juga telah diterbitkan Kepmenakertrans no. 232/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah. Pada Pasal 3 beleid tersebut menegaskan pula bahwa mogok kerja yang dilakukan bukan akibat gagalnya perundingan, maka mogok kerja tersebut tidak sah.
Dia menjelaskan bahwa dalam pasal 4 disebutkan gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a) adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Hubungan industrial yang dimaksudkan dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja atau pekerja telah meminta secara tertulis kepada pengusaha dua kali dalam tenggang waktu 14 hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.