Bisnis.com, JAKARTA -- Masih tersanderanya produk ekspor unggulan Indonesia dalam pusaran trade remedies di negara mitra menjadi sandungan dalam mencapai target perdagangan.
Meski demikian, hal tersebut diharapkan tak membuat pemerintah mengabaikan fokus utama dalam menyehatkan neraca dagang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, nilai ekspor yang berhasil diselamatkan dari tuduhan trade remedies mencapai US$240,69 juta per September atau sekitar Rp3,59 triliun.
Nilai tersebut berasal dari penyelamatan sejumlah produk seperti power transformers, produk kaca, produk sel surya, kain bukan tenun, phenol, dan hot rolled stainless steel.
Dari nilai ekspor yang berhasil diselamatkan, sumbangan terbesar datang dari hot rolled stainless steel yang sebelumnya mendapat tuduhan subsidi dari Uni Eropa. Produk ini membukukan nilai ekspor senilai US$209,95 juta dengan volume 118.358 ton pada 2019.
Jika merujuk pada daftar potensi ekspor Indonesia yang masih diperjuangkan, setidaknya masih ada sekitar US$3,42 miliar yang belum lepas dari pengenaan bea masuk antidumping (BMAD), bea masuk tindak pengamanan (BMTP), dan bea masuk antisubsidi (BMAS).
Baca Juga
Produk turunan sawit menjadi salah satu komoditas yang kerap mendapat sandungan trade remedies di negara tujuan. Di Uni Eropa misalnya, biodiesel asal Indonesia senilai US$532,50 juta harus menghadapi tuduhan subsidi.
Tuduhan serupa juga dilayangkan oleh Amerika Serikat yang pada 2016 menjadi pasar untuk 372.021 ton biodiesel senilai US$255,56 juta.
Selain itu, potensi hilangnya ekspor dalam jumlah fantastis justru datang dari pasar yang tak jauh dari Indonesia, yaitu Filipina. Pemerintahan Rodrigo Duterte tercatat melakukan tindak pengamanan pada industri otomotif dalam negerinya dengan mengenakan BMTP pada kendaraan bermotor yang pada 2019 membukukan nilai ekspor sebesar US$1,16 miliar.
Filipina juga melakukan tindakan pengamanan untuk impor kopi instan merek Kopiko yang ekspornya mencapai US$367,43 juta pada 2018.
Selama pandemi, Kementerian Perdagangan menyebutkan setidaknya ada 16 tuduhan trade remedies yang dihadapi Indonesia dengan potensi hilangnya ekspor sebesar US$1,87 miliar.
Produk yang paling banyak diinvestigasi mencakup tekstil dan produk tekstil dengan 4 tuduhan, kimia dengan 4 tuduhan, 3 tuduhan pada produk baja, 2 tuduhan pada produk turunan kayu, dan satu tuduhan untuk masing-masing produk otomotif, elektronika, dan aneka.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan bahwa Indonesia selalu memiliki posisi yang kuat dalam membuktikan bahwa eksportir Tanah Air tidak melakukan praktik perdagangan tak sehat di negara tujuan.
Dia mencontohkan capaian pengamanan dagang pada 2019 yang mencapai US$1,8 miliar.
“Ini angka yang cukup memuaskan mengingat banyaknya tuduhan trade remedies yang dituduhkan ke Indonesia berasal dari negara-negara yang memiliki defisit perdagangan besar dengan kita seperti India dan Amerika Serikat,” kata Shinta saat dihubungi, Minggu (27/9/2020).
Shinta juga mengemukakan bahwa kehadiran kebijakan trade remedies pun lebih banyak yang berhasil ditangkal alih-alih berhasil menjadi instrumen untuk membendung lonjakan impor dari negara tertuduh.
Untuk itu, dia berharap Indonesia dapat tetap fokus ke pengumpulan bukti dan data untuk melawan tuduhan serta meningkatkan daya saing di negara tujuan pada masa mendatang.
“Di tengah perang dagang dan pandemi, peningkatan tuduhan trade remedies menjadi hal yang cukup wajar karena banyak negara yang terbentur kepentingan untuk melindungi diri dari defisit. Sudah menjadi hak mitra dagang untuk menggunakan instrumen tersebut,” lanjutnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai diplomasi perdagangan Indonesia memang perlu penguatan guna membendung berbagai tuduhan trade remedies dan meningkatkan penetrasi pasar.
Semakin besarnya nilai ekspor RI yang dihadang hambatan bea masuk, lanjut dia, menjadi sinyal bahwa negara-negara mitra masih mengedepankan kepentingan dalam negeri di tengah Perang Dagang dan tantangan pandemi.
“Penguatan diplomasi dagang menjadi penting. Selain untuk mendorong penetrasi ekspor, ia dipakai untuk meredam tuduhan-tuduhan trade remedies. Sinkronisasi antarlembaga dan kementerian perlu diperkuat sehingga kita bisa menghadirkan bukti dan data yang bisa counter tuduhan tersebut,” kata Faisal.