Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Galih Prasetyo

Peneliti Bening Institute

Galih Prasetyo adalah Peneliti Bening Institute

Lihat artikel saya lainnya

Mengadang Ombak Resesi dengan BLT

Dengan menerima dana segar, masyarakat dapat membelanjakan uangnya dan mendorong sirkulasi ekonomi terus bergerak. Produksi dan distribusi sektor informal pun bergeliat lagi.
Begini, Cara Cairin Bantuan Rp600 Ribu untuk Karyawan
Begini, Cara Cairin Bantuan Rp600 Ribu untuk Karyawan

Terbentuknya Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berlandaskan mengisyaratkan bahwa pemulihan ekonomi dan ikhtiar menjaga kesehatan masyarakat mesti berjalan seiringan. Hal ini sangat beralasan bila membaca laporan Bank Dunia berjudul Global Economic Prospects (Juni, 2020). Diprediksi pertumbuhan Indonesia bakal minus 5,1% tahun ini.

Namun selama akhir dari Covid-19 belum dapat dipastikan, berbagai kebijakan ekonomi akan terasa berat. Ibarat berusaha menanggulangi ‘akibat’, di sisi lain pangkal muasal ‘sebabnya’ menanti penyelesaian segera. Untuk itu dalam menyikapi anjloknya perekonomian, paling mungkin pasang kuda-kuda bertahan, karena mengejar investasi dan menggenjot perdagangan yang selama ini jadi prioritas tidak bakal optimal.

Apalagi ketergantungan kita pada aliran modal asing juga makin tidak menentu. Utang pun mengalami kenaikan tinggi (Bank Dunia, 2020). Tercatat, utang luar negeri kita per Mei 2020 mencapai US$404,7 miliar atau sekitar Rp5.984 triliun, naik 4,8% dari tahun lalu. Investor asing pun tampaknya beranggapan miring pada nilai rupiah usai rangkaian kebijakan Bank Indonesia (BI), menyusul opsi pembelian obligasi terbitan pemerintah lewat pasar perdana dengan semangat berbagi beban sebesar Rp397,56 triliun dari total kebutuhan penanganan Covid-19 sebesar Rp903,49 triliun.

Turunnya suku bunga acuan (BI 7-Day Reserve Repo Rate) 100 basis point menjadi 4% juga membuat investor menahan diri mengucurkan dananya lantaran kebiasaan mengail untung dari selisih margin bunga. Mereka kerap memainkan pola berutang dolar berbunga murah, lalu menggesernnya ke rupiah. Sedangkan penurunan suku bunga belum tentu meningkatkan konsumsi.

Di tengah keterbatasan, pembelian obligasi oleh BI atau quantititative easing (EA) artinya sama dengan cetak uang. Meskipun dampaknya parsial tetapi cukup mampu meredam volatilitas pasar finansial. Sebagian pihak khawatir cetak uang berpotensi menyebabkan hiperinflasi. Beberapa studi menemukan bahwa cetak uang dapat memicu hiperinflasi bila dilakukan agresif. Alhasil nilai mata uang bisa menciut. Tidak seperti dolar AS yang berlaku di mana pun.

Dari 29 kasus di sejumlah negara, hiperinflasi terjadi bila rasio utang di atas 80% dari PDB dan melonjaknya defisit fiskal melampaui 40% (Bernholz, 2003 dalam Moosa, 2014). Indikator lainnya nampak dari merosotnya neraca pembayaran, menguatnya proteksionisme dan runtuhnya tingkat kepercayaan pada mata uang domestik. Dibandingkan dengan angka di atas, Indonesia tak serta merta muram.

Per Juni 2020 inflasi cuma 1,96% (yoy) meski defisit anggaran dinaikan menjadi 6,34% dari PDB dan rasio utang baru baru di kisaran 30,23%, serta neraca pembayaran defisit di triwulan I/2020 sekitar Rp119 triliun. Namun pemerintah tak boleh lengah. Peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph E. Stiglitz (2012) meragukan cetak uang mengundang inflasi serius walau bukan kabar menggembirakan.

Syaratnya, dana didistribusikan ke sektor produktif atau sektor riil. Sialnya, pandemi menyebabkan sisi penawaran dan permintaan jeblok. Berkaca dari respon krisis 2008, Bank of England (BoE) pada Maret 2009 menerapkan QE dengan menumpuk obligasi yang bertujuan memompa likuditas pada perbankan.

Otomatis peredaran uang meningkat. Bank sentral membeli aset, termasuk dari sektor swasta nonbank. Terhitung dari Mei–November 2009 mencapai 200 miliar pound. Lalu publik diberikan peluang menukar aset tidak likuid atas obligasi, sehingga dibentuklah Bank of England Asset Purchase Facility Fund Limited.

Tak cukup sampai situ, Komite Kebijakan Moneter Inggris memangkas suku bunga dari 5% menjadi 0,5% pada Maret 2009. Namun kinerja ekonomi tak kunjung membaik, malah justru mengalami konstraksi hingga akhir 2011. Per Mei 2020, negara ini menghentikan QE. Supaya dana pemerintah yang diperoleh susah payah tidak sia-sia, kasus di Inggris patut menjadi pelajaran. Pasalnya per Juni, BI telah menyerap obligasi sekitar Rp447 triliun.

Demi mengerem konstraksi ekonomi agar tidak terlalu terpuruk, hasil serapan obligasi oleh BI dapat digunakan guna memperluas penerima manfaat jaring pengaman sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).

Sesungguhnya skema cash transfer bukan barang baru. Philippe Van Parijs (1995) pernah mengusulkannya dalam Real Freedom for All (What (If Anything) Can Justify Capitalism? Dia menawarkan universal basic income berupa pemberian uang tunai tanpa syarat. Acuannya, kebebasan tanpa kesempatan hanya melanggengkan ketidakadilan.

Alhasil, buah dari pertumbuhan harus dibarengi dengan pemerataan sebagaimana negara-negara Eropa yang sejak lama sudah mengadopsi pola tersebut dengan besaran variatif. Pemberian cek US$1.000 bagi warga AS di masa pandemi sejalan dengan prinsip tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2020 angka kemiskinan berada di angka 26,42 juta jiwa (9,78%).

Jika diasumsikan tiap orang menerima Rp1,5 juta per bulan selama enam bulan, dibutuhkan sekitar Rp234 triliun lebih. Ini cukup efektif meski pengaruhnya terbatas bagi pertumbuhan. Minimal sanggup memperkuat konsumsi masyarakat.

Jangkauan penerima boleh juga tidak hanya terbatas bagi kelas miskin. Bagi kelompok menengah atas, jika dalam waktu yang telah ditetapkan (setelah pandemi) tidak dilakukan pengembalian, bank berhak menarik paksa dari rekening pribadi sesuai besaran penerimaan yang kemudian diparkir di rekening khusus.

Dengan menerima dana segar, masyarakat dapat membelanjakan uangnya dan mendorong sirkulasi ekonomi terus bergerak. Produksi dan distribusi sektor informal bergeliat. Setidaknya sisi permintaan dan penawaran yang selama ini jadi kendala perlahan teratasi di tengah ketidakpastian akhir dari Covid-19.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Galih Prasetyo
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper