Bisnis.com, JAKARTA - Sehari sebelum pidato Kenegaraan Presiden RI Joko Widodo, Kamis (13/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memamerkan sebuah foto. Foto kenangan yang disimpan rapat selama 22 tahun.
Kumpulan foto yang dipajang di akun Instagram @smindrawati tersebut mengungkapkan pertemuan pertama kali Sri Mulyani dengan Jokowi. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 14 Agustus 1998. Saat mereka sama-sama hadir di sebuah seminar di Solo.
Bedanya, kala itu Sri Mulyani hadir sebagai pembicara. Sebagai ekonom yang juga mengajar di Universitas Indonesia. Dia cukup kritis di zamannya. Adapun, Jokowi sebagai pengusaha yang menjadi sponsor acara tersebut. Belum menjadi pejabat tentunya.
Sejatinya, Sri Mulyani menjadi pembicara bersama Jaya Suprana, wakil pengusaha. Mereka berdiskusi tentang ekonomi yang tengah berkecamuk. Akibat krisis moneter yang melanda sejumlah negara di Asia.
Kembali pada foto tadi. Yang menarik adalah tanggal dan harinya. Sri Mulyani tampaknya sengaja menyimpan foto itu cukup lama. Dia ingin menunjukkan pada momentum yang tepat. Dan, yang tepat memang saat ini. Tepat tanggal 14 Agustus dan harinya Jumat.
Bedanya, menurut penanggalan Jawa, Jumat 22 tahun lalu jatuhnya pasaran Legi, sedangkan kemarin Pahing. Weton Jumat Legi jatuhnya 11, dan Jumat Pahing 15. Bila dijumlahkan, dua weton tersebut 26.
Baca Juga
Angka 26 jatuhnya Pesthi. Dalam hal perjodohan, Pesthi pertanda positif. Kehidupannya akan rukun, damai, dan ayem, sampai tua. Walau ada masalah, apapun yang terjadi, tidak akan merusak keharmonisan mereka.
Perhitungan ini hanya cocoklogi. Ilmu yang mencoba mengaitkan suatu kejadian, waktu, tempat, atau apapun, dengan sabda alam. Sebenarnya, perhitungan penanggalan Jawa ini lebih tepat pada weton lahir seseorang.
Akan tetapi, momentum pertemuan Sri Mulyani dan Jokowi ini menjadi unik. Ada pepatah bahwa ‘setiap pertemuan merupakan rencana Tuhan’. Begitu yang saya kutip dari Bisnis.com yang juga mewartakan soal unggahan foto Sri Mulyani.
Masa krisis 1998 mempertemukan Sri Mulyani dan Jokowi. Namun, mereka sebagai pengamat atau pemain di luar lapangan. Kini masa sulit itu datang. Mereka bertemu sebagai pelaku. Pelaku kebijakan yang mengatur jalannya permainan.
Kondisi saat ini tidak mudah. Bila 1998 musuhnya kelihatan, yakni krisis moneter yang bisa dihalau dengan kebijakan dan tidak berdampak besar pada jiwa manusia, sekarang lawannya tak kasat mata dan berimbas pada keselamatan rakyat Indonesia, pagebluk Covid-19.
Saat ini tak hanya Indonesia yang mengalaminya. Ada 215 negara yang berjuang memerangi corona. Dalam catatan WHO, sampai dengan 13 Agustus, lebih dari 20 juta kasus di dunia, dengan jumlah kematian 737.000 jiwa.
Di Indonesia per 14 Agustus 2020 angka pasien positif Covid-19 mencapai 135.123 kasus. Pasien yang sembuh mencapai 89.618 orang. Adapun yang meninggal 6.021 orang.
**
Dampak dari krisis kesehatan ini cukup besar terhadap perekonomian. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 terkoyak -5,32%, lebih dalam dari proyeksi pemerintah di kisaran -4,3%. Ada perdebatan apakah ekonomi Indonesia masuk fase resesi dengan hasil statistik ini?
Penurunan ekonomi yang berlanjut dalam dua kuartal berturut-turut ada yang meyakini sebagai fase resesi. Ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 tercatat tumbuh 2,97%, merosot dari kuartal IV/2019 sebesar 4,97%.
Namun, ada yang berpendapat fase resesi terjadi bila dua kuartal berturut-turut ekonomi minus. Perbebatan ini sebenarnya tak terlalu penting. Resesi adalah sebuah keniscayaan yang akan terjadi di Indonesia.
Kemarin, Sri Mulyani menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia tahun ini bakal minus 1,1%. Artinya, pada kuartal III ekonomi masih akan mencatatkan kontraksi. Jadi, fase resesi hanyalah masalah waktu.
Buktinya dunia usaha masih tersendat. Meskipun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah dilonggarkan, mesin-mesin produksi belum bergerak kencang. Baik dari skala kecil hingga skala besar.
Sektor usaha dari penjual produk hingga penawar jasa pun terguncang. Dampaknya, tak hanya kepada pebisnis, tetapi juga penerimaan negara.
Penerimaan negara pada paruh pertama tahun ini terkoreksi -9,8% menjadi Rp811,2 triliun, selisih Rp88,4 triliun bila dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun lalu Rp899,6 triliun. Realisasi itu hanya 47,7% dari target APBN 2020 sebesar Rp1.699,9 triliun.
Penerimaan dari aneka pajak melempem. Mulai dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB) serta pajak lainnya melorot di atas 10%.
Secara komulatif, realisasi penerimaan pajak sepanjang semester I/2020 baru mencapai Rp531,71 triliun atau 44,35% dari target APBN senilai Rp1.198,82 triliun.
Realisasi ini tentu mencemaskan. Apalagi negara tengah membutuhkan anggaran besar untuk memerangi virus corona, dan menyelamatkan perekonomian bangsa. Pemerintah beberapa kali melakukan revisi anggaran untuk menyesuaikan kondisi saat ini.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 ditetapkan Rp2.739,16 triliun. Anggaran dibiayai dari pendapatan penerimaan negara Rp1.699,94 triliun, sisanya menerbitkan utang, pinjaman, hibah dan lainnya Rp1.039,21 triliun.
Apabila ekonomi memburuk pasti akan semakin mengancam penerimaan negara. Dampaknya lobang defisit akan semakin mengangga. Pinjaman pemerintah akan semakin membengkak.
Beberapa upaya dilakukan pemerintah dengan mendorong stimulus. Meskipun rada terlambat, stimulus sekarang langsung menyasar ke masyarakat untuk mendorong belanja. Pasalnya masalah utama yang dihadapi saat ini adalah penurunan permintaan atau daya beli.
Berbagai stimulus diobral. Seperti mengucurkan subsidi dana segar Rp600.0000 kepada pekerja yang memiliki gaji di bawah Rp5 juta hingga mengelontorkan gaji ke-13 kepada PNS. Namun, kebijakan ini hanya berdampak pada segelintir angkatan kerja, sekitar 3%.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyadari itu. Dia menyebutkan bahwa perilaku masyarakat kelas menegah atas yang menahan belanja telah menekan ekonomi domestik. Perilaku tersebut membuat permintaan merosot.
Kalangan menengah banyak yang memilih mempertebal saldo tabungan dan enggan membelanjakan uangnya. Hal itu terlihat dari tren kenaikan pundi-pundi simpanan di bank. Pada Juni 2020 dana pihak ketiga perbankan mencatatkan pertumbuhan 8,37% secara tahunan.
Kelas menengah memilih menunda belanja karena khawatir pandemi corona masih lama. Memang sempat terjadi peningkatan aktivitas masyarakat ketika PSBB dilonggarkan. Namun, itu hanya sesaat. Kegiatan itu meredup semakin ke sini. Artinya, pandemi masih menjadi momok masyarakat dengan membatasi aktivitas belanja.
***
Presiden Jokowi dalam pidato Kenegaraan Sidang Tahunan MPR-DPR 2020 mengajak semua pihak agar membajak momentum krisis kali ini dengan melakukan sejumlah lompatan besar di bidang ekonomi.
Setidaknya ada empat kata ‘membajak’ dan 12 kata ‘maju’ yang menandakan bahwa keseriusan ajakan RI-1. Glorifikasi kata tersebut ingin memacu semangat dan tekad untuk memutarbalikkan keadaan.
Keadaan di mana sejumlah bangsa tengah terpuruk sehingga Indonesia harus mengambil peluang untuk lepas dari jerat negara papan tengah atau Upper Middle Income Country.
"Kemunduran banyak negara besar ini bisa menjadi peluang dan momentum bagi kita untuk mengejar ketertinggalan," ujar Jokowi.
Namun, dengan apa kita mengejarnya? Kita harus menyadari bahwa sempat salah langkah dalam memerangi corona. Dari semula santai saja saat negara lain sudah terpapar Covid-19, lalu panik ketika 2 Maret 2020 virus itu menjangkiti dua warga Indonesia.
Berbagai salah langkah terus terulang. Sampai saat ini, kita belum memiliki mekanisme yang tepat dalam membendung persebaran virus corona. Yang dilakukan semacam pemadam kebakaran belaka.
Dalam 5 bulan lebih ini, aktivitas perang melawan corona hanya tercatat dalam angka-angka kasus positif, sembuh, dan meninggal yang terus menanjak naik. Kita belum tau kapan puncak pandemi akan terjadi. Dari semula diramalkan Juli, Lebaran, Agustus dan entah kapan.
Para ilmuwan dan ahli teknologi telah lama menyarankan agar membuat basis data semua warga, misal dalam status risiko merah, kuning, mau pun hijau. Hal itu untuk memilah warga yang memiliki risiko rendah dalam beraktivitas.
Data semacam itu dipakai di sejumlah negara, seperti China, Korea Selatan, dan Singapura. Dengan metode yang berbeda-beda tentunya. Hal itu cukup efektif dalam meredam persebaran virus corona sembari menunggu vaksin selesai diuji coba.
Waktu 6 bulan ke depan masih terasa lama bila hanya mengandalkan vaksin yang dalam tahap uji klinis tahap ketiga. Dalam 5 bulan saja, ekonomi Indonesia sudah babak belur terpapar pagebluk corona.
Rasanya momentum membajak krisis itu harus dilakukan dari aspek dasar, yakni kesehatan. Agar warga merasa aman dan tidak takut menjalankan aktivitas ekonomi.
Rasanya weton Pesthi yang mempertemukan Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani bisa membawa kita lepas dari jerat krisis, dan berakhir bahagia. Harapan itu membuncah pada HUT Ke-75 Republik Indonesia ini. Dirgahayu!