Bisnis.com, JAKARTA – Rencana Presiden Joko Widodo menerapkan hub dan super hub di sejumlah bandara sebetulnya merupakan konsep lama yang telah diterapkan. Namun, ini menjadi kontradiksi dengan keinginan Jokowi sebelumnya dalam membangun banyak bandara bertaraf internasional.
Pemerhati penerbangan yang juga anggota ombudsman RI Alvin Lie mengatakan sebetulnya wacana hub dan super hub selama ini sudah dilaksanakan dengan sistem yang berjalan selama ini dikenal sebagai hub and spoke. Alvin menjelaskan hub adalah bandara sentral kemudian spoke menjadi wilayah pengumpannya.
Alvin menjelaskan untuk rute internasional semestinya memang menggunakan sistem tersentralisasi dengan hub di sejumlah bandara besar seperti yang telah disampaikan oleh Presiden dalam ratas pada Rabu (5/8/2020).
Konsep tersebut sudah tampak dan berlangsung di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), kemudian Bandara Ngurah Rai di Bali. Selanjutnya Bandara Kualanamu di Medan, dan mungkin Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar.
Bandara yang ditetapkan memiliki kelayakan atau dari sisi daya tarik wisata, industri dan perdagangan sehingga memungkinkan untuk penerbangan internasional. Adapun bandara lainnya, kata dia, cukup memiliki penerbangan domestik dan berfungsi sebagai pengumpan untuk bandara internasional.
“Sebenarnya sistem itu sudah tertata lama, tapi justru pemerintah Jokowi mendobrak dibuat sebanyak mungkin bandara internasional. Bahkan yang secara perhitungan tidak masuk pun dipaksa masuk internasional, hanya mengejar internasional seperti di Banyuwangi, Silangit, bahkan Bandara lampung pun internasional,” jelasnya, Kamis (6/8/2020).
Baca Juga
Padahal, kata dia, untuk menjadi bandara internasional implikasinya sangat luas, bukan hanya soal statusnya, melainkan juga dukungan imigrasi dukungan Bea Cukai, hingga pengelolaan lingkungan yang memerlukan persyaratan pengelolaan limbah, karantina.
“Untuk itu dengan adanya arahan hari ini, saya mendukung dikembalikannya rute internasional ada di bandara internasional, dan jangan diobrak abrik seperti sekarang,” imbuhnya.
Dia mencontohkan Presiden Joko Widodo yang meminta agar Bandara Radin Inten II di Bandar Lampung ditingkatkan statusnya menjadi bandara internasional untuk membuka penerbangan internasional, baik dari Singapura maupun Malaysia, menuju Lampung.
Saat itu, Kepala Negara berharap dengan dibukanya konektivitas melalui penerbangan dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisata maupun investasi sehingga pariwisata akan meningkat di provinsi Lampung ini.
Adapun, Presiden pada hari ini mengadakan ratas dan menyampaikan mencatat terdapat delapan bandar udara (bandara) internasional di Indonesia yang berpotensi jadi hub dan super hub untuk mentransformasi industri penerbangan dan pariwisata.
"Beberapa di antaranya adalah Bandara Ngurah Rai (Bali), Seokarno-Hatta (Banten), Kualanamu (Sumatera Utara), Jogjakarta, Balikpapan (Kalimantan Timur), Hassanudin (Sulawesi Selatan), Sam Ratulangi (Sulawesi Utara), dan Juanda (Jawa Timur),” kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas mengenai penggabungan BUMN Aviasi dan Pariwisata di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis.
Hal ini dilakukan karena pemerintah sedang mengkaji kemungkinan untuk menggabungkan BUMN sektor penerbangan dan pariwisata agar industri di kedua sektor tersebut bisa lebih kokoh dan memiliki bisnis yang terakselerasi.
Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk mengkaji bandara-bandara yang berpotensi jadi hub dan super hub sesuai letak geografis dan karakter wilayahnya.
Presiden Jokowi melihat saat ini jumlah hub penerbangan di Indonesia terlalu banyak dan tidak merata. Saat ini, Indonesia memiliki 30 bandara internasional. Dia membandingkan dengan negara lain yang tidak memiliki bandara internasional sebanyak Indonesia.
“Apakah diperlukan sebanyak ini? Negara-negara lain saya kira tidak melakukan ini. Coba dilihat, dan 9 persen lalu lintas terpusat hanya di empat bandara, di Seokarno Hatta, Ngurah Rai Bali, Juanda, dan Kualanamu,” ujar dia.