Bisnis.com, JAKARTA — Pembahasan peningkatan cukai rokok umumnya menjadi isu besar di industri hasil tembakau pada pertengahan tahun.
Kementerian Perindustrian menilai peningkatan cukai rokok untuk tahun fiskal 2021 akan lebih lunak mengingat adanya pandemi Covid-19.
Kepala Sub-Direktrotat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin Mogashidu Djati Ertanto menilai kebijakan cukai untuk 2021 seharusnya akan lebih moderat dibandingkan dengan kebijakan cukai 2020. Menurutnya, hal tersebut bertujuan menjaga penyerapan tenaga kerja pada industri hasil tembakau (IHT).
"Kenaikan akan cukai saat ini cukup memukul [pertumbuhan produksi] khususnya [pabrikan] SKT [sigaret kretek tangan]. Utilisasi SKT turun 40—50 persen karena adanya phisical distancing," ujarnya dalam webinar Menilik Arah Kebijakan Industri Hasil Tembakau sebagai Sektor Padat Karya, Kamis (6/8/2020).
Jika merujuk data Kemenperin, pabrikan SKT menyerap lebih dari 2 juta tenaga kerja. Secara terperinci, industri SKT menyerap tembakau dari 500.000 petani, 1 juta petani cengkih, dan menyerap lebih dari 600.000 pelinting rokok di pabrikan.
Selain itu, industri bahan baku industri SKT didominasi oleh tembakau lokal hingga 66 persen dan cengkih domestik sekitar 28 persen. Sementara itu, tembakau impor hanya berkontribusi sekitar 6 persen.
Baca Juga
Proporsi serapan tersebut berbanding terbalik dengna industri sigaret putih mesin (SPM) yang mengalokasikan bahan baku impor hingga 66 persen, sedangkan tembakau lokal hanya menyumbang 34 persen dari total pemakaian tembakau.
Adapun, tenaga kerja yang diserap SPM hanya sekitar 55.000 orang lantaran mayoritas proses produksi sudah terotomatisasi.
Salah satu protokol kesehatan yang harus ditaati pabrikan saat pandemi adalah menjaga jarak fisik yang mengakibatkan pengurangan produktivitas sekitar 50—60 persen pada industri padat karya. Dengan kata lain, panndemi Covid-19 memiliki dampak yang cukup besar pada industri SKT.
Selain karena pandemi, Mogashidu mengatakan bahwa IHT saat ini juga terpukul oleh kenaikan cukai yang berlaku awal 2020 sekitar 23 persen dan harga jual eceran sebesar 35 persen.
Menurutnya, kombinasi pandemi, kenaikan cukai pada awal tahun dan protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menyebabkan laju pertumbuhan lapangan usaha IHT anjlok 10,84 persen pada kuartal II/2020 secara tahunan.
Ketika menanggapi hal tersebut, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menuturkan bahwa pihaknya tidak menginginkan insentif seperti yang didapatkan sektor manufaktur lain. Namun, Budidoyo berharap agar pemerintah memberi regulasi yang adil dalam mengatur IHT.
"Hanya cukup diberikan ruang seperti industri-industri lain yang berkembang. Makanya, kami butuh kepastian hukum sekaligus kepastian berusaha, minimal ada perlakuan adil sehingga industri ini bisa tetap eksis," katanya.