Bisnis.com, JAKARTA - Dag dig dug, jantung para pembuat kebijakan tentu berdegup kencang akhir-akhir ini. Pasalnya, ancaman resesi menanti di depan pintu.
Sementara itu, resep obat birokrat yang dibangga-banggakan ternyata tak cukup mujarab mengobati ekonomi yang 'nyaris' sekarat.
Wajar, jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) cukup 'ceriwis' mengingatkan pembantunya untuk bergerak cepat.
Jangan leda - lede, apalagi berpangku tangan, melihat kondisi sosioekonomi makin genting. Gunakan dong sense of crisis-nya!
Pesan Pesiden Jokowi sangat jelas dan lugas dalam arahannya. Dia tak ingin meninggalkan legacy negatif di periode kedua pemerintahannya.
Apalagi jika ekonomi harus resesi. Indonesia, bagi pemerintah, harus kuat melewati pandemi dan keluar dari ancaman resesi. Caranya? Ya tetap bergerak dan menjaga protokol kesehatan.
Baca Juga
Dalam posisi ini, kepala negara rupanya paham betul falsafah Jawa, ‘ora obah ora mamah’ alias tidak bergerak tidak makan alias tidak selamat.
Masyarakat harus kembali beraktivitas meski sangat terbatas. Ekonomi tetap harus berjalan. Apalagi indikator-indikator ekonomi beberapa bulan terakhir belum juga pulih.
Nah, di tengah hiruk pikuk rendahnya penyerapan anggaran penanganan Covid-19, lahir Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Kemunculan komite ini banyak memantik perdebatan. Apakah komite baru itu menggantikan peran gugus tugas atau memang ada perubahan orientasi penganan Covid-19?
Pemerintah tentu saja tak secara lugas menjawab. Kalimat yang meluncur pendek saja: "Iya ada perubahan orientasi."
Tetapi jika dilihat substansinya apalagi struktur pejabat di dalamnya perubahan orientasi itu cukup jelas. Bahasa politiknya bukan lagi kesehatan, sekarang ekonomi jadi prioritas.
Komite ini sekaligus menerjemahkan keinginan penguasa dan pengusaha yang sedang berjibaku supaya bertahan dari guncangan resesi.
Raden Pardede, salah satu pejabat di komite itu bahkan secara terang-terangan menyebutkan target jangka pendek yang akan dicapai komite.
"Target kita tahun ini supaya tidak ada resesi," ujarnya dalam sebuah webinar, Senin (3/8/2020).
Bahaya laten resesi memang semakin nyata dan menjadi momok yang sangat menakutkan. Kalau itu terjadi, bisa dibayangkan kondisi mirip 1998 atau bahkan lebih buruk dari tahun itu bisa terjadi. Pengangguran meningkat, pemutusan hubungan kerja dimana-mana, paling parah ya kerusuhan sosial.
Indonesia, meski pada kuartal 1/2020 masih tumbuh 2,97 persen tetapi pada kuartal-kuartal bukanya tanpa risiko. Sejumlah ekonom bahkan menyebut perekonomian akan mengarah ke angka negatif bahkan resesi. Bekas Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo menyebut kuartal II/2020 ekonomi bisa mengarah ke minus 6 persen.
Pertumbuhan negatif atau resesi sebenarnya bukan sebuah kejutan. Pasalnya sejak awal pandemi penurunan kinerja baik di sisi permintaan (demand side) atau permintaan dai sisi suplai tampak jelas. Kedua sisi ini terpukul cukup parah akibat pandemi Covid-19.
Namun demikian, penurunan sisi permintaan inilah yang seharusnya menjadi perhatian lebih pemerintah. Pasalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan share sisi demand, penekanan pada konsumsi rumah tangga, ke produk domestik bruto (PDB) lebih dari 50 persen.
Artinya, konsumsi merupakan penggerak utama perekonomian domestik. Jika konsumsi terkontraksi dah daya beli masyarakat rendah, ekonomi sudah pasti nyungsep.
Jadi, daripada jor-joran kasih duit ratusan triliun buat insentif dunia usaha yang penyerapannya memble, mbok ya dikasih saja ke masyarakat.
Toh, kata bekas Menteri Keuangan Chatib Basri, kalau konsumsi masyarakat terjaga, tentu pelaku usaha akan melirik. Alurnya begini, ketika konsumsi membaik, aktivitas perekonomian kembali berjalan, peluang usaha bermunculan dan ini tentu akan dilirik pengusaha untuk berinvestasi.
Namun, sebesar apapun duit digelontorkan, kalau konsumsi tidak jalan pengusaha tentu akan selalu mengambil posisi wait and see alias ogah spending duitnya. Mereka tentu berpikir, daripada berisiko, mending taruh uangnya di bank dapat bunga deposito tanpa harus capek-capek mengeluarkan uang untuk investasi.
Kalau ini terus terjadi tanpa ada perubahan, ya mari sama-sama kita sambut resesi!