Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian menargetkan program substitusi impor bisa mencapai 35 persen dalam waktu dua tahun mendatang, sehingga bisa mengurangi ketergantungan terhadap barang modal dan bahan baku dari luar negeri.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing industri nasional.
“Kami sedang dalam proses merumuskan road map untuk program substitusi impor, sehingga nanti output dan outcome-nya adalah substitusi impor yang didorong dapat mencapai 35 persen pada 2022,” kata Agus dalam siaran pers, Kamis (30/7/2020).
Dia menambahkan langkah yang ditempuh untuk mewujudkan kebijakan tersebut, antara lain substitusi impor pada industri yang tercatat memiliki nilai impor besar pada 2019. Sektor yang dimaksud meliputi industri mesin, kimia, logam, elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang logam, serta karet dan barang dari karet.
Pihaknya optimistis melalui berbagai kebijakan pendukung, struktur industri nasional bisa lebih mendalam dengan adanya peningkatan investasi dan penyerapan tenaga kerja baru.
Selanjutnya, guna mencapai target substitusi impor 35 persen tersebut, Kemenperin juga melakukan langkah peningkatan utilisasi produksi seluruh sektor industri pengolahan, dengan target peningkatan secara bertahap pada 2020, 2021 dan 2022 masing-masing sebesar 60 persen, 75 persen dan 85 persen.
Baca Juga
Agus menuturkan utilisasi sektor industri sebelum terjadinya Covid-19 mencapai 75 persen. Saat ini, dengan adanya tekanan akibat pandemi, utilisasi turun drastis hingga 40 persen.
Dia mengklaim berkat berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi dampak Covid-19 terhadap industri, saat ini rata-rata utilisasi sektor industri manufaktur perlahan mulai bangkit ke titik 50 persen.
Pemerintah juga telah menyusun instrumen pengendalian impor, di antaranya larangan terbatas, pemberlakuan preshipment inspection, maupun pengaturan pelabuhan di wilayah timur Indonesia sebagai entry point untuk komoditas yang diutamakan.
Instrumen lainnya adalah pembenahan lembaga sertifikasi produk untuk penerbitan Standar Nasional Indonesia (SNI), penerapan SNI wajib, mengembalikan aturan pemeriksaan produk impor dari post-border ke border, menaikkan tarif Most Favored Nation untuk komoditas strategis, serta menaikkan implementasi trade remedies.