Bisnis.com, JAKARTA – Masifnya volume impor baja lapis membuat pabrikan lokal memikirkan melakukan ekspor atau menarik investasinya di dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada dua dari tujuh pos tarif baja lapis yang menunjukkan lonjakan volume ekspor, yakni pos tarif 7210.61.11 dan 7225.99.90.
Adapun, volume ekspor pos tarif 7210.61.11 selama Januari-Mei 2020 naik lebih dari 27 kali lipat menjadi 123,6 ton, sedangkan volume pos tarif 7225.99.90 naik lebih dari 25 kali lipat menjadi 0,7 ton.
"Jadi, kami berinovasi juga. Kalau memang Indonesia adalah negara destinasi [baja lapis impor dari] China, kami harus ke luar untuk survive. Ke luar bisa dengan ekspor atau ke luar investasinya," kata Direktur Eksekutif Indonesia Zinc Aluminium Steel Industry Maharani Putri kepada Bisnis, Rabu (22/7/2020).
Maharani menyatakan salah satu pabrikan yang memutuskan untuk melakukan ekspor adalah PT Tata Metal Lestari. IZASI mendata Tata Metal memiliki kapasitas terpasang sebanyak 250.000 ton per tahun atau 15,87 persen dari total kapasitas terpasang nasional.
Idealnya, hampir seluruh permintaan nasioanl dapat dipenuhi oleh pabrikan nasional. IZASI mendata volume permintaan baja lapis nasional pada akhir 2019 mencapai 1,61 juta ton, sementara itu kapasitas terpasang pabrikan nasional mencapai 1,57 juta ton.
Dengan kata lain, kebutuhan baja lapis impor idealnya hanya 41.252 ton atau 2,55 persen dari total permintaan nasional. Namun demikian, volume baja lapis impor pada tahun lalu mencapai 890.998 ton atau mendominasi 55 persen permintaan nasional.
Sementara itu, pabrikan baja lapis nasional pada tahun lalu hanya berkontribusi 45 persen dari permintaan baja lapis nasional atau sebanyak 725.254 ton. Dengan kata lain, utilitas rata-rata pabrikan hanya berada di level 55 persen.
Maharani mengatakan hal yang sama tidak bisa dilakukan oleh seluruh pabrikan baja lapis, khusunya oleh pabrikan multinasional seperti PT NS Bluescope Indonesia. Pasalnya, menurutnya, BlueScope Indonesia hanya berproduksi untuk memnuhi pasar lokal.
Alhasil, lanjutnya, ada wacaran bahwa Bluescope Indonesia akan melakuan ekspor atau mencabut investasinya dari Indonesia. "Bluescope itu ada di setiap negara, jadi susah kalau ekspor. Tapi, ini sedang dipikirkan."
Oleh karena itu, Maharani meminta agar pemerintah mempercepat perubahan SNI baja lapis dari sukarela menjadi wajib. Menurutnya, hanya non-tariff measure (NTM) yang dapat melindungi pabrikan dari negara asal importir.
Per 2019, 53 persen dari total baja lapis impor berasal dari China, sedangkan 31 persen berasal dari Vietnam. Dengan kata lain, baja lapis dari Negeri Panda berpotensi mendominasi pasar domestik sekitar 29-31 persen dengan bea masuk senilai Rp0.
Selain itu, lanjutnya, SNI baja lapis wajib juga dapat menghilangkan praktik pelarian pos tarif yang selama ini diduga dilakuan. Maharani berujar pelarian pos tarif tersebut terlihat dari melonjaknya impor baja lapis campuran dan menurunnya baja lapis alloy.
Namun demikian, Maharani menyampaikan saat ini perubahan status SNI tersebut masih tertahan di Kementerian Perindustrian. Menurutnya, salah satu isu yang sedang didiskusikan adalah kemampuan pabrikan berskala kecil dan menegah dalam mengikuti SNI tersbeut.
Mhaarani menilai hal tersebut tidak logis lantaran industri baja lapis merupakan industri padat modal, sedangkan industri kecil dan menengah (IKM) umumnya merupakan industri padat karya. Selain itu, Maharani menyatakan perubahan jenis SNI tersebut juga diperlukan untuk melindungi konsumen.
Seperti diketahui, SNI baja lapis menyatakan bahwa ketebalan baja dasar yang beredar di dalam negeri dianjurkan untuk lebih dari 0,2 milimeter. Namun demikian, Maharani menemukan bahwa mayoritas baja lapis impor memiliki ketebalan 0,2 milimeter, sedangkan ketebalan baja dasarnya hanya 0,17 milimeter.