Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nilai Impor Garmen Meroket, API Wanti-Wanti Pemerintah

Selama Januari-Mei 2020 tercatat nilai impor barang tekstil jadi lainnya naik 98,18 persen atau menjadi US$112,12 juta, pemerintah diminta percepat safeguard.
Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen di Jakarta, Rabu (1/7/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen di Jakarta, Rabu (1/7/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mendata nilai impor pakaian jadi atau pos tarif 63 naik lebih dari dua kali lipat selama semester I/2020. Namun demikian, performa tersebut berbanding terbalik dengan data volume impor ke dalam negeri.

Selama Januari-Mei 2020 tercatat nilai impor barang tekstil jadi lainnya naik 98,18 persen atau menjadi US$112,12 juta. Namun demikian, volume impor pada periode yang sama terkontraksi 13,43 persen dari 16.756 ton pada Januari-Mei 2019 menjadi 14.505 ton.

"Artinya, kalau [importirnya] jujur, [barang] yang diimpor yang nilainya tinggi. Dulu, periode yang sama tahun lalu, mereka cuma klaim harga atau self-declare hanya 30 persen dari harga riil," ujar Sekretaris Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat Kevin Hartanto kepada Bisnis.com, Minggu (19/7/2020).

Adapun, pertumbuhan nilai impor selama enam bulan pertama pada 2020 tumbuh 112,88 persen menjadi US138,8 juta. Dengan kata lain, nilai impor pakaian jadi per Juni 2020 mencapai sekitar US$7,9 juta.

Walaupun volume impor menurun, Kevin menilai pemangku kepentingan harus waspada dan mempercepat penerbitan safeguard produk dalam pos tarif 61 dan 62. Seperti diketahui, Kementerian Keuangan telah menerbitkan beleid penambahan bea masuk pada sebagian produk dalam pos tarif 64.

Kevin menilai percepatan safeguard harus dilakukan lantaran pabrikan garmen di China saat ini mulai beroperasi, sedangkan pabrikan garmen lokal masih tertatih-tatih akibat rendahnya permintaan. Adapun, proses penambahan bea masuk untuk dua pos tarif tersebut masih dalam tahap administrasi.

"Sekarang kami kekurangan petisioner, karena sebagai persyaratan pemohon volume produksi dan penjualan harus lebih dari 50 persen dari total produksi dan penjualan nasional. Jadi, tidak bsia diwakili 10 perusahaan maju [saja]," ucapnya.

Menurutnya, potensi maraknya produk impor di dalam negeri cukup besar lantaran pabrikan garmen China berkontribusi sekitar 25 persen dari total kebutuhan garmen global. Adapun, pabrikan garmen nasional baru mampu memasok sekitar 1,7 persen.

Dengan kata lain, efisiensi produksi industri garmen China jauh lebih tinggi dari pabrikan lokal. Selain itu, Kevin menyatakan pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian area dagang bebas (FTA) dengan China yang membuat bea masuk garmen China bisa mencapai 0 persen.

Kevin menilai penerbitan safeguard tersebut dapat merangsang penciptaan banyak pelaku industri kecil dan menengah (IKM) garmen. Kevin memberikan contoh dalam produksi kerudung.

Kevin mendata saat ini sekitar 95 persen kerudung yang beredar di dalam negeri berasal dari Negeri Tirai Bambu. Adapun, volume impor kerudung pada tahun lalu mencapai 11.000 ton atau setara dengan 150 juta unit kerudung.

Adapun, lanjutnya, lapangan pekerjaan yang berhubungna dengan produksi kerudung hanya jasa pencopotan label produksi. Menurutnya, penerbitan safeguar untuk pos tarif 61 dan 62 dapat menumbuhkan IKM kerudung di dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper