Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya milik keluarga Bakrie harus mengembalikan uang negara sebesar Rp1,91 triliun.
Pengembalian uang negara itu merupakan pokok, bunga dan denda yang harus dibayar Lapindo atas pinjaman dana talangan akibat luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. Perusahaan konglomerasi Bakrie itu pada Maret 2007 memperoleh pinjaman Rp781,68 miliar, akan tetapi uang yang ditarik dari pemerintah sebesar Rp773,38 miliar.
Perjanjian pinjaman ini memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8 persen. Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1000 per hari dari nilai pinjaman.
Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda. Atau Lunas pada 2019 lalu.
Nyatanya, semenjak uang negara dicairkan melalui perjanjian PRJ-16/MK.01/2015 mengenai Peberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Tedampak 22 Maret 2007, Lapindo hanya mencicil 1 kali.
"Hasil pemeriksaan menunjukkan Lapindo Brantas Inc. serta PT Minarak Lapindo Jaya belum melunasi pinjaman pada akhir masa perjanjian. Lapindo Brantas Inc. serta PT Minarak Lapindo Jaya hanya pernah satu kali melakukan pengembalian sebesar Rp5 miliar pada tanggal 20 Desember 2018," ulas BPK dalam LHP Pemerintah Pusat 2019 yang dikutip Jumat (17/7/2020).
Baca Juga
BPK merinci tagihan kepada Lapindo itu terdiri dari pokok Rp773,38 miliar, bunga Rp163,95 miliar dan denda Rp981,42 miliar. BPK mencatat pemerintah telah mengupayakan penagihan kepada Lapindo dengan penagihan pada Juli 2019 dan September 2019.
Selanjutnya pada 19 Desember 2019, Lapindo meminta kepada Jaksa Agung untuk melakukan pembayaran dengan asset settlement. Kejaksaan menindaklanjuti surat Lapindo ini dengan menyelenggarakan pertemuan dengan pihak terkait seperti Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"BPKP menginformasikan bahwa belum ada peraturan yang mengatur pihak yang seharusnya melakukan pengadaan, khususnya terkait asset settlement namun yang harus dipastikan adalah independensi KJPP tetap terjaga terlepas dari LBI/MLJ yang membiayai KJPP. Independensi ini harus menjadi perhatian Pemerintah dalam menyusun Term Of Reference (TOR). Peran BPKP dalam penilaian adalah mereviu aspek aritmatika dan compliance peraturan, bukan di subtansi penilaian dan dilakukan sebelum terbit dalam penyusunan TOR," ulas BPK dalam laporannya.
PENGEBORAN MINYAK
Sementara itu, Lapindo Brantas masih mendapatkan kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola wilayah kerja migas Brantas. Wilayah yang termasuk dengan kawasan semburan lumpur.
Pemerintah menunjuk Lapindo pada 2018. Perusahaan kala itu menyebutkan komitmen investasi 5 tahun pertama senilai US$115,55 juta dan bonus tanda tangan US$1 juta.
Kontrak baru wilayah kerja itu menggunakan bagi hasil kotor yakni, kontraktor akan menerima sebesar 47 persen, sedangkan pemerintah sebesar 52 persen untuk produk gas.
Dengan begitu, Lapindo akan tetap mengebor migas di wilayah Brantas hingga 20 tahun ke depan.
Di sana, Lapindo Brantas akan mengelola Brantas bersama dua mitranya yakni, PT Prakarsa Brantas dan PT Minarak Brantas. Lapindo berstatus sebagai operator dengan jumlah kepemilikan sebesar 50 persen.