Bisnis.com, JAKARTA - Manuver Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di balik penempatan dana milik pemerintah di sejumlah bank BUMN menarik untuk dicermati.
Selain persoalan pembicaraan burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang sampai saat ini masih alot, skema penempatan dana ke Bank BUMN yang tahap awal nilainya mencapai Rp30 triliun ini dilakukan karena skema bank jangkar belum benar-benar efektif.
Informasi yang dihimpun Bisnis dari internal Kementerian Keuangan menguak tabir bahwa skema bank jangkar sebagaimana diatur dalam PMK No.64/2020 dianggap terlalu rumit dan berisiko bagi bank peserta juga berat. Sehingga pelaksanaan beleid ini tidak bisa berjalan optimal.
Hal ini berbeda dengan ketentuan di dalam PMK No.70/2020 tentang penempatan uang negara di bank umum mitra. Skema penempatan dana lebih sederhana dan lebih mudah dijalankan. Dengan demikian, bank mitra dengan segera bisa memberikan bantuan likuiditas bagai pelaku usaha yang membutuhkan.
"PMK No.70/2020 lebih sederhana, PMK No.64/2020 terlalu rumit dan risiko bagi bank peserta juga berat," ungkap sumber Bisnis tersebut dalam pesan singkat, Jumat (26/6/2020).
Seperti diketahui, PMK No.70/2020 sekilas memang berbeda peruntukannya dengan PMK No.64/2020. Dari sisi persyaratan, syarat bagi bank mitra umum jauh lebih sederhana dibandingkan dengan bank peserta atau bank jangkar.
Baca Juga
Namun, baik bank jangkar maupun bank mitra sama-sama bertujuan untuk memberikan bantuan kepada pelaku usaha yang sedang mengalami kesulitan likuiditas. Bisa dibilang PMK No.70/2020 tentang penempatan duit negara ke bank BUMN merupakan komplemen dari beleid sebelumnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perbendaharaan Kemenkeu Andin Hadiyanto tidak menjawab permintaan konfirmasi Bisnis soal perbedaan antara bank mitra dengan bank peserta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers belum lama ini juga tak menjelaskan secara terperinci soal alasan penerbitan beleid yang tentang bank mitra tersebut. Mantan pejabat Bank Dunia ini hanya menjelaskan soal mekanisme dan tujuan penempatan dana.
Menariknya, dalam konferensi pers tersebut, pemerintah hanya di dampingi para pimpinan bank milik negara. Tak ada satupun perwakilan BI yang nongol dalam keterangan resmi terkait penempatan uang negara tersebut.
Padahal, jelas-jelas aturan ini juga terkait dengan nasib duit yang disimpan di bank sentral. Soal mekanisme penempatan dana, misalnya, dana yang akan ditempatkan ke bank milik pemerintah berasal dari dana milik pemerintah yang berada di Bank Indonesia.
"Dana pemerintah yang memang ada di BI kita pindahkan kepada bank umum nasional tujuannya seperti bapak presiden tekankan khusus untuk mendorong ekonomi dan sektor riil," ungkap Sri Mulyani.
Kendati demikian, Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengonfirmasi bahwa salah satu dana pemerintah yang ditempatkan ke bank-bank BUMN adalah dana hasil penjualan surat utang yang dibeli BI dan disimpan di rekening khusus PEN di BI.
Ketentuan soal rekening khusus PEN tertuang dalam PMK No.63/2020 yang diberi judul tata cara pengelolaan rekening khusus pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Ada beberapa aspek yang diatur dalam beleid ini, terutama terkait skenario pengelolaan hasil penjualan surat utang kepada BI.
Sebagai contoh, dalam ketentuan ini, Menteri Keuangan menerbitkan surat utang. Surat utang kemudian dibeli BI. Hasil penerbitan kemudian disimpan dalam rekening khusus pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) di BI.
Dana hasil penerbitan surat utang kemudian akan dipindahbukukan ke bank peserta atau rekening kas umum negara (RKUN) dalam rangka pelaksanaan PEN.
Burden Sharing
Di sisi lain, pembahasan soal burden sharing antara pemerintah dengan bank sentral masih terus berjalan bahkan berlangsung alot. Keterlibatan BI diharapkan bisa sangat signifikan mengingat kondisi anggaran pemerintah saat ini sangat cekak.
Seperti diketahui, total kebutuhan pembiayaan bruto APBN 2020 mencapai Rp1.647,1 triliun yang akan digunakan untuk menambal defisit APBN senilai Rp1.039,2 triliun, investasi neto Rp181,2 triliun dan membayar utang jatuh tempo yang nilainya Rp426,6 triliun.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan bahwa proses pembicaraan soal burden sharing masih terus berlangsung. Yang jelas, BI sebagai otoritas moneter tetap berkomitmen untuk mendorong program pemulihan ekonomi.
Destry juga menyanggah jika dikatakan 'kecolongan' ketika pemerintah menarik dananya dan memilih menempatkan dananya ke bank milik negara. BI, kata Destry, sesuai mandat yang diberikan tidak bisa melakukan intervensi ke sektor riil secara langsung.
"Kami sih tidak melihat itu, karena sebelumnya kami [BI dan pemerintah] sudah membicarakannya," jelasnya dalam webinar, Kamis (25/6/2020) malam.
Sejumlah pihak, termasuk DPR telah meminta BI supaya berperan cukup besar dalam mendorong pemulihan ekonomi. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah, misalnya, bahkan telah mengusulkan dua skema pembagian beban antara otoritas fiskal dan moneter.
Pertama, untuk pembiayaan yang bersifat barang publik (public goods), misalnya, Said mengusulkan supaya pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema burden sharing, dengan pembagian beban pemerintah sebesar 0 persen dan BI sebesar 100 persen.
Kedua, bagi pembiayaan yang bersifat pembiayaan yang bersifat barang nonpublik (non-public goods), pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema 50 persen dan dan BI sebesar 50 persen.
Begitupun dengan sejumlah anggota Komisi XI DPR yang meminta BI untuk menerima bunga 0 persen dari setiap pembelian surat utang yang diterbitkan pemerintah.
Usulan ini bisa saja diterapkan, namun BI tentu memiliki pertimbangannya sendiri. Apalagi soal zero kupon, BI memiliki pengalaman pahit di masa lalu. Sebaliknya, tak bijak juga rasanya jika BI masih memikirkan keuntungan dalam posisi yang serba kepepet.