Pandemi Covid-19 yang menyeruak sejak awal 2020 telah menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi hampir di seluruh negara di dunia.
Di Indonesia, situasi penanganan Covid-19 masih berlangsung ketat. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih dijalankan hampir di seluruh wilayah sehingga penurunan tajam aktivitas ekonomi tidak terelakan.
Dampak negatif terhadap ekonomi seperti penutupan aktivitas bisnis, kebangkrutan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah berlangsung. Covid-19 tidak saja memukul usaha skala besar, tetapi juga melindas bisnis kecil dan menengah.
Stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan dikeluarkannya PP No 23/2020 menyediakan dana Rp152,5 triliun bagi BUMN untuk kebutuhan pembayaran subsidi, kompensasi, pinjaman dana talangan, serta penambahan modal BUMN (PMN).
Apa alasan dikucurkan dana untuk BUMN? Sebagian besar dana, hampir Rp95 triliun dialokasikan untuk pembayaran kompensasi dan subsidi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Hal ini juga sekaligus pembayaran dipercepat atas selisih harga keekonomian dan harga penugasan yang diamanatkan pemerintah.
Dana ini tentu sangat membantu kedua perusahaan pelat merah ini di tengah tekanan arus kas yang berat.
Pertamina, misalnya, sedang dihadapkan pada penurunan tajam harga minyak dunia, sementara hampir 75% sektor usaha berada di upstream. Jadi, percepatan pembayaran kompensasi ini sangat membantu untuk penguatan modal kerja dan pembayaran utang jatuh tempo.
Sektor transportasi publik seperti PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. juga mendapatkan suntikan dana talangan modal kerja. Hal ini tidak terlepas dari kondisi PSBB yang menyebabkan mereka berhenti beroperasi cukup lama dan membutuhkan modal kerja baru.
Garuda memang agak kontroversial karena BUMN ini memiliki kinerja buruk dalam beberapa tahun terakhir sebelum pandemi melanda. Tak hanya Garuda, dana talangan untuk PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. dan holding PTPN juga mendapat sorotan.
Meskipun demikian, pada prinsipnya talangan modal kerja ini diprioritaskan bagi perputaran roda usaha korporasi dan tidak dimaksudkan untuk pembayaran kewajiban utang mereka. Dana talangan ini pun tidak gratis karena pemerintah hanya menjamin dan BUMN tersebut harus mencari akses ke sumber pendanaan.
Selain funding dari paket stimulus ekonomi pemerintah, beberapa BUMN juga aktif mengejar pinjaman luar negeri berupa penerbitan global bond. Motifnya bervariasi mulai dari penguatan modal, refinancing dan kebutuhan capital expenditure, serta kebutuhan investasi dengan nilai total pinjaman mencapai sekitar US$3,6 miliar atau setara Rp54 triliun s.d. April 2020.
Sementara itu, akumulasi total utang luar negeri BUMN pada Juli 2019 menurut laporan Moody’s sudah mencapai US$52,8 miliar. Perlu dicermati soal utang BUMN ini agar penggunaannya efektif sehingga tidak mengkhawatirkan dan berdampak pada risiko ketidakpastian.
Dengan skema PEN terhadap BUMN ini, tentu harus ada penilaian terukur atas efektivitasnya. Kalau BUMN dalam skema bantuan ini ternyata tidak mampu membuat kinerja perseroan membaik, tentu perlu dilakukan evaluasi terhadap direksi.
Implementasi konsep business judgment rules juga perlu dipahami semua pihak dengan jelas sehingga tidak ada keraguan pihak direksi dalam menjalankan aksi korporasi yang akan dijalankan.
BUMN dan New Normal
Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 100 BUMN (sudah berkurang karena menjadi anggota holding) di mana kondisinya pareto.
Laporan pada akhir 2019 menunjukan laba BUMN sebesar Rp189 triliun, di mana 15 BUMN sudah berkontribusi 73% dari total laba tersebut.
Hal ini tentu memprihatinkan karena menunjukkan lemahnya produktivitas, efisiensi, dan kemampuan mencetak laba yang optimal.
Momen krisis Covid-19 ini bisa dipakai sebagai momentum perbaikan structural positioning BUMN. Sesuai tujuan pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan industri strategis, maka BUMN di sektor esensial tersebut patut dipertahankan.
Di samping itu, perlu juga mempertahankan keberadaan BUMN yang bergerak dalam melayani hajat hidup orang banyak serta BUMN yang mampu bersaing dalam industri secara sehat.
Jadi, matriks positioning BUMN didasarkan pada kebutuhan strategis dan daya saing serta tingkat kesehatan internal. BUMN yang masuk pada kategori sudah tidak strategis dan tidak sehat secara internal sebaiknya dilepaskan saja (likuidasi).
Dengan positioning baru ini, maka ke depan Indonesia akan memiliki BUMN dalam jumlah lebih sedikit, tetapi punya daya saing kuat, sehat, dan mampu membantu negara dalam aspek ketahanan nasional.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 40/M/2020 Tentang Pembentukan Tim Restrukturisasi BUMN, diharapkan program likuidasi BUMN yang tersendat sejak era Menteri Rini Soemarno bisa direalisasikan. Harapannya, komunikasi dengan pihak legislatif bisa berlangsung lancar sehingga program ini tidak lagi mandek.
Langkah lain yang harus diperhatikan BUMN menyongsong masa depan pascapandemi Covid-19 adalah pemetaan cepat atas posisi saat ini dan memproyeksikan posisi masa depan (new normal) yang pasti akan berubah.
Konteks relasi masyarakat masa depan yang mengutamakan social distancing, komunikasi digital yang masif, pola work from home (WFH) yang mungkin akan diteruskan dengan working flexible space (WFS), serta perubahan lainnya yang harus diantisipasi segera.
Dalam jangka pendek, tentu dengan mempertahankan bisnis melalui pelayanan yang disesuaikan pada era new normal. Dalam jangka panjang, berjuang mempertahankan sustainability BUMN dengan penguatan daya saing di berbagai sektor.
Dalam skenario seperti ini, maka beberapa langkah perseroan untuk efisiensi termasuk perampingan organisasi dan personel kelihatannya tidak bisa dihindari lagi. Itulah kecenderungan potret masa depan BUMN Indonesia selepas Covid-19.