Bisnis.com, JAKARTA – Para pengusaha ritel modern menilai tekanan ekonomi akibat wabah Covid-19 sangat menekan industri tersebut.
Ketua Penasehat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) Handaka Santosa mengatakan, tantangan selama pandemi ini lebih sulit dibandingkan krisis ekonomi pada 1998 silam.
Tekanan lebih berat harus dirasakan oleh peritel yang hanya mengandalkan gerai di Jakarta karena tidak memiliki jaringan yang menjangkau daerah yang luas. Peritel dengan skala usaha mikro dan menengah pun disebutnya tertekan selama pandemi.
"Total penjualan yang bisa diperoleh hanya sekitar 10 persen dari kondisi normal. Jadi jika dalam sebulan revenue Rp5 miliar, maka selama pembatasan hanya Rp500 juta dan peritel tetap dikenai beban yang sama," tutur Handaka, Kamis (18/6/2020)
Menurut Handaka, pembukaan kembali mal dan pusat belanja bisa mencegah terjadinya penurunan yang lebih dalam.
Dalam situasi yang kian tak menentu, para peritel pun mau tak mau harus segera bermigrasi ke penjualan daring meski tak secara penuh mengkompensasi hilangnya penjualan dari kunjungan langsung.
Baca Juga
Untuk itu lanjutnya, keberlanjutan industri ritel menjadi penting mengingat kontribusi besar konsumsi domestik terhadap perekonomian.
"Dengan dibukanya operasional pusat perbelanjaan di DKI Jakarta, maka akan menjadi momentum untuk meningkatkan perekonomian karena 50 sampai 60 persen aktivitas ekonomi ada di Jakarta," kata Handaka dalam kesempatan yang sama.
Adapun, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan industri ritel di dalam negeri setidaknya harus kehilangan Rp12 triliun dalam dua bulan terakhir. Hal tersebut terjadi akibat adanya pembatasan operasional menyusul pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak Maret lalu.
"Penurunan cukup signifikan dua bulan terakhir, sekitar Rp12 triliun. Pusat perbelanjaan yang tidak aktif di DKI ada sekitar 70. Sementara di Jabodetabek ada 326. Pendapatan tidak sama dengan sebelum Coovid-19," kata Agus.
Kembali diizinkannya aktivitas pusat perbelanjaan ini pun disebut Agus bersamaan dengan kenaikan angka Purchasing Manager Index (PMI) di Indonesia pada Mei yang berada di level 28,6 dari yang sebelumnya sempat anjlok menjadi 27,5 pada April.
Padahal, PMI pada Februari tercatat mencapailevel 51,9. Menurut Agus, naiknya angka tersebut menjadi sinyal agar sektor perdagangan dapat bangkit.