Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja Impor Terendah Sejak 2009, Ini Dampaknya ke Industri Manufaktur

Realisasi impor pada Mei 2020 tercatat terendah sejak 2009 yakni sebesar US$8,44 miliar, turun 42,20 persen dari periode Mei 2019.
Foto aerial pelabuhan peti kemas Koja di Jakarta. (25/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha
Foto aerial pelabuhan peti kemas Koja di Jakarta. (25/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi impor pada Mei 2020 mengalami penurunan 42,20 persen secara tahunan menjadi US$8,44 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang senilai US$14,61 miliar. Realisasi impor pada Mei 2020 tercatat terendah sejak 2009.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengingatkan bahaya laten penurunan impor, khususnya di tengah situasi pandemi virus Corona (Covid-19), karena mayoritas impor merupakan bahan baku penolong industri di Tanah Air. 

"Sekitar 75 persen impor Indonesia digunakan untuk bahan baku penolong, khususnya industri makanan," katanya ketika dihubungi Bisnis, Senin (15/6/2020).

Dia mengungkapkan penurunan pertumbuhan impor ini bisa diartikan beberapa hal. Pertama, industri manufaktur masih menahan laju produksi karena melambatnya permintaan dari dalam dan luar negeri.

Mengacu pada data, Purchasing Manager Index (PMI) Indonesia dalam tiga bulan terakhir berada di bawah level ekspansi 50, yaitu 45,3 pada Maret; 27,5 pada April; dan 28,6 pada Mei.

Data tersebut, lanjutnya, menunjukkan pelaku usaha di dalam negeri juga masih pesimis terhadap kondisi ekonomi saat ini sehingga menunda untuk melakukan ekspansi.

Padahal, Yusuf mengingatkan industri manufaktur ini merupakan penyumbang terbesar dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

"Jika industri manufaktur kinerjanya jeblok, besar kemungkinan kinerja ekonomi Indonesia juga akan ikut terkoreksi," imbuhnya.

Kedua, kontraksi pertumbuhan impor akan berdampak pada ekspor manufaktor. Pasalnya, sebagian barang-barang ekspor membutuhkan bahan baku yang diimpor dari luar negeri. Pemerintah harus mengantisipasi kondisi tersebut. Apalagi, sektor manufaktur merupakan pos ekspor dengan sumbangsih terbesar pada ekspor non-migas.

"Jika ekspor terkoreksi, maka pemerintah kehilangan potensi untuk menggaet cadangan devisa dari aktivitas ekspor," jelasnya.

Terakhir, dia menuturkan perlambatan ekspor dan impor tentu juga akan berdampak pada penerimaan negara. Pasalnya, penurunan angka ekspor dan impor akan selaras dengan kontraksi pertumbuhan bea masuk dan keluar.

Sebagai ilustrasi, Yusuf menggambarkan pertumbuhan bea masuk pada April 2020 tercatat terkontraksi 2,64 persen dan kontraksi 34 persen untuk bea keluar pada bulan yang sama. Adapun, ekspor dan impor masing turun 7 persen dan impor 18 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper