Bisnis.com, JAKARTA - Institut Studi Transportasi (Instran) menilai aturan teknis yang diatur oleh Kementerian Perhubungan dalam bentuk SE masing-masing Direktur Jenderal lebih tepat apabila diadakan uji coba kelayakan atau kelaikan sarana prasarana transportasi.
Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang mengatakan persoalan yang dihadapi saat ini adalah pandemi virus yang belum bisa diprediksi intensitas penurunan penularannya.
Menurutnya bila membandingkan grafis sebaran Covid-19 yang cenderung naik pada periode Mei – Juni 2020, maka fase I – III akan berbahaya dan berisiko menjadi sebaran gelombang kedua Covid-19, seperti yang terjadi di kawasan Asia Selatan yakni India, Pakistan dan Bangladesh.
"Belajar dari kasus Asia Selatan ini memang kita seyogianya harus tetap lebih berhati-hati dengan skenario pelonggaran [relaksasi] untuk mendukung peningkatan perekonomian melalui normal baru," katanya, Kamis (11/6/2020).
Menurutnya dalam menghadapi pandemi ini tanggung jawab sebesar 100 persen berada pada ranah kesehatan. Dia mengharapkan semua stakeholder harus patuh dan tunduk kepada regulasi Kemenkes saja.
Dia berpendapat relaksasi pelonggaran kapasitas di atas 50 persen terlalu berjudi terhadap protokol kesehatan itu sendiri karena di Indonesia, khususnya Jabodetabek dan Jatim penderita infeksi corona justru terus bertambah setiap hari.
Baca Juga
Dia melanjutkan apabila telah ada penurunan kasus positif corona selama 1 bulan barangkali dapat dilakukan pelonggaran kapasitas angkutan umum, tetapi tetap melalui kajian terlebih dulu.
"Surat-surat edaran dari Kemenhub itu sebenarnya bersifat tidak mengikat karena bukan produk perundang-undangan, artinya masyarakat dan operator transportasi tidak perlu terburu-buru untuk melakukan pelonggaran tanpa jarak sehat di sektor transportasi umum," ujarnya.
Dia juga mencontohkan dalam SE Kemenhub No. 11/2020 dan 14/2020 terdapat pembedaan untuk angkutan massal antara bus dengan kereta perkotaan. Untuk fase II untuk bus umum maksimal 70 persen dan untuk KA Perkotaan hanya 45 persen.
Sebenarnya, kata dia, bila sesama angkutan umum massal perkotaan tetap mempunyai aturan penghitungan standar sama. Dalam perbandingan SE tersebut terdapat penghitungan kapasitas KA Perkotaan tetapi untuk Bus perkotaan (BRT) tidak ada. Padahal konfigurasi tempat duduk antara KA Perkotaan dan Bus Perkotaan adalah sama yang saling berhadapan sejajar sepanjang sarana moda bus/KA.
Bila standar penghitungannya sama antara moda untuk KA Perkotaan dan Bus Perkotaan tentunya seperti bus BRT Trans Jakarta hanya diizinkan maksimal 45 persen untuk fase II dan 60 persen untuk fase III dan bukannya 70 persen dan 85 persen.
Pembatasan angkutan umum sesuai aturan organisasi kesehatan dunia WHO tetap menyaratkan adanya physical distancing minimal 1 meter.
Namun, apabila sesuai aturan PSBB Kemenkes, maksimal daya angkut 50 persen angkutan umum dari total kapasitas sarana transportasi. Sebenarnya bila dihitung minimal jaga jarak 1 meter antar penumpang sulit mencapai maksimal 50 persen.